Perlu Insentif
Pemerintah sendiri sebenarnya tidak hanya tinggal diam dalam menyikapi kondisi seperti sekarang ini. Kucuran insentif pajak dan impor bahan baku sudah banyak dilayangkan kendati hasilnya belum memenuhi ekspektasi. Bahkan beberapa pa ket kebijakan sudah diterbitkan secara gradual untuk menginjeksi produksi dalam negeri. Ten tu hal tersebut patut menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk perumusan kebijakan kebijakan selanjutnya.
Kebijakan kuratif perlu dilakukan secara simultan untuk memperbaiki neraca perdagang an ke depannya. Perbaikan ne raca perdagangan harus seimbang antara peningkatan eks por dengan upaya untuk menahan impor, sebab dengan cara itulah kita bisa meningkatkan surplus perdagangan.
Oleh karena itu langkah perbaikan harus bersifat menyeluruh sejak hulu hingga hilir, mulai dari kebijakan investasi, daya saing pro duksi hingga efisiensi penjualan/pemasaran (tata niaga). Fokus utamanya adalah men jaga daya saing agar kualitas perekonomian kita dapat menghasilkan surplus perdagangan yang lebih besar.
Pertama, sektor industri tetap perlu kita pertahankan sebagai leading sector untuk ekspor karena peranannya yang sangat besar terhadap peningkatan nilai tambah produk. Akan tetapi kita juga perlu meng utamakan jenis-jenis industri yang mampu menggunakan komponen lokal dan menghasilkan multiplier effect yang paling signifikan terhadap perekonomian Indonesia.
Ketergantungan impor selama ini untuk penyedia an bahan baku/penolong ter bukti justru menyandera daya saing kita karena pada saat nilai tukar melemah, biaya operasional produksi juga akan meningkat dan selanjutnya turut berpengaruh pada harga jual pro duk.
Oleh karena itu, kebiasa an ini perlu direm segera dengan menggiatkan industri subs titusi impor. Kedua, kebijakan struktural perlu diimbangi dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai untuk meningkatkan daya saing investasi dan produksi. Persoalan infrastruktur mulai dari penunjang transportasi, informasi dan komunikasi, ener gi hingga air bersih selama ini menjadi utang terbesar kita untuk peningkatan pembangunan. Selain kurang memadai, proses konstruksinya juga di nilai kurang merata (dan relatif mahal), terutama di luar Pulau Jawa. Hal ini pula yang membuat jantung perekonomian terkonsentrasi di Pulau Jawa. Padahal keragaman potensi sangat tersedia di banyak daerah, terutama industri yang renewable seperti pariwisata (dan produk-produk turunannya) serta industri makanan-minuman yang otentik.
Dan untuk saat ini perkembangan kedua potensi lokal tersebut masih terganggu dengan biaya transportasi udara yang tengah melangit harganya sehingga pemerintah perlu memperbaiki layanan tersebut untuk menggeliatkan kembali bisnis yang sangat potensial ini.
Ketiga, baru-baru ini BI menurunkan tingkat suku bunga acuan (7days repo rate /7DRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75%. Langkah transmisi berikutnya sangat dibutuhkan untuk menjaga agar misi kesinambungan pertumbuhan ekonomi dapat tercapai. Setidaknya stok keuangan yang sudah ter kumpul selama ini dapat disalurkan untuk mendanai investasi dan produksi melalui suku bunga kredit perbankan yang lebih rendah.
Seiring praki raan inflasi yang kondusif dan ketidakpastian pasar global yang mulai terkendali, kita patut memanfaatkan momentum ini untuk kembali menggenjot produktivitas sektor riil. Tinggal bagaimana cara BI dan peme rintah bekerja sama melakukan transmisi yang sejalan dengan misi penguatan sektor keuangan dan sektor riil dengan sekaligus.
Keempat, transformasi struk tural juga perlu diperkuat dengan transformasi ketenagakerjaan. Isu ini sering kali dibahas karena turut memengaruhi daya saing Indonesia.
Dalam ling kup regional ASEAN, kita se ring kali tertinggal dengan beberapa negara tetangga salah satunya karena persoalan ketenagakerjaan yang relatif kalah bersaing dengan mereka. Selain faktor produktivitas dan keterampilan, biaya upah dan tunjangan yang harus ditanggung para pemodal dirasa relatif terlalu mahal jika dikaitkan dengan hasil yang mereka terima. Oleh karena itu skill tenaga kerja perlu semakin ditingkatkan, terutama melalui kualitas pendidikan, kesehatan, riset dan pengembangan hingga pelatih an-pelatihan tematik jangka pendek. Minimal tenaga kerja kita dapat lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi dan jiwa entrepreneur perlu diperkuat untuk meningkatkan nilai tambah yang dihasilkan.
Dan kelima, persoalan birokrasi turut menjadi “momok” in vestasi. Yang paling utama un tuk saat ini adalah sinkro ni - sasi antara target deregulasi yang dilakukan pemerintah pusat dengan kebijakan yang diampu pemerintah daerah. Dari beberapa pengamatan di lapangan, tampak tidak sedikit per aturan daerah (perda) yang kontradiktif dengan peraturan pemerintah pusat dan justru menghambat laju investasi daerah, misalnya terkait dengan tata ruang/agraria. Memang dalam beberapa sisi “kerumitan” birokrasi menjadi ladang pendapatan pemerintah daerah, terutama melalui pos retribusi.
Akan tetapi dalam sudut pandang yang lebih luas, hal itu justru dapat menghambat per tum buhan ekonomi di daerah. Oleh karena itu pemerintah pusat perlu mengajak pemerintah dan masyarakat di daerah untuk membuat kebijakan-kebijakan kreatif yang dapat mengalirkan semakin banyak investasi yang ber manfaat bagi daerah, selama tidak ber sifat destruktif terhadap ekosistem alam dan manusia. Perjuangan menerjang defisit perdagangan adalah jalan yang panjang dan sangat dinamis. Kita sendiri sebagai negara small open economy tidak bisa sekadar berpikir parsial untuk bisa melahirkan kebijakan yang komprehensif.
Secara sekilas memang hal ini tidak mudah, tetapi kita tetap harus berani teguh jika ingin perekonomian Indonesia tetap berjalan dengan sehat dan berumur panjang. Kolaborasi antarpe mangku kepentingan adalah kunci utamanya. Pemerintah harus menunjukkan dukungannya terhadap pebisnis dan masyarakat dan sebagai gantinya mereka juga harus mendukung ke bijakan pemerintah dengan melaku kan kewajiban-kewajibannya sebagai warga negara yang baik. Tanpa itu semua kita akan terus menjadi bangsa yang terjajah dalam perekonomian. Mudah-mudahan hal itu tidak kita biarkan tanpa ada langkahlangkah perbaikan.
CANDRA FAJRI ANANDA
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya
(Fakhri Rezy)