JAKARTA - Kurs dolar Amerika Serikat (AS) berbalik menguat atau rebound terhadap sekeranjang mata uang utama lainnya pada akhir perdagangan Selasa (Rabu pagi WIB), di tengah penurunan mata uang safe-haven termasuk yen Jepang dan franc Swiss.
Terkait hal itu, Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim mengatakan bahwa pemerintahan Presiden AS Donald Trump secara resmi menyebut China sebagai manipulator mata uang, sebuah pernyataan yang meningkatkan ketegangan perang dagang lebih jauh.
"Sikap tersebut disampaikan Washington setelah Bank Sentral China (PBOC) dengan sengaja membiarkan nilai yuan jatuh terhadap dolar AS sebagai bentuk balasan atas tarif impor Presiden AS Donald Trump," kata dia kepada Okezone, Rabu (7/8/2019).
Baca Juga: Perang Mata Uang Bisa Bikin Defisit Neraca Perdagangan RI Melebar
Kini perang dagang sepertinya sudah naik kelas, bertransformasi menjadi perang mata uang. Jika praktik yang dilakukan China ditiru oleh negara lain demi menggenjot ekspor, maka akan terjadi devaluasi mata uang secara kompetitif. Perang mata uang sudah di depan mata.
"Kita lihat secara terpisah, China juga mengumumkan bahwa mereka akan berhenti membeli produk pertanian AS, sehari setelah media milik pemerintah mengatakan Beijing tidak akan diganggu dan akan "melawan balik." Langkah ini sebagai pembalasan kepada Presiden AS Donald Trump mengancam tarif baru semua barang China sebesar USD300 miliar yang akan berlaku 1 September 2019," tutur dia.
Baca Juga: Perang Dagang Jatuhkan Harga Minyak Dunia
Dia menuturkan Bank Indonesia terus mengamati kondisi global yang terus memburuk dan terus melakukan intervensi di pasar valas dan obligasi negara melalui pasar DNDF (Domestic Non-Deliverable Forwards), sedangkan lelang dibuka pukul 08.30 WIB dan terus intervensi sampai peutupan pasar. Walaupun mendapat pengawalan ketat dari BI, Rupiah tidak kuasa lepas dari jeratan zona merah. Pasalnya, sentimen negatif dari luar begitu luar biasa.