Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Ribut-Ribut Dana Bagi Hasil antara Anies dengan Sri Mulyani

Taufik Fajar , Jurnalis-Minggu, 17 Mei 2020 |07:09 WIB
Ribut-Ribut Dana Bagi Hasil antara Anies dengan Sri Mulyani
Polemik Dana Bagi Hasil (DBH). (Foto: Okezone.com)
A
A
A

 JAKARTA - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi sorotan publik pada pekan ini. Di mana DKI Jakarta meminta pembayaran Dana Bagi Hasil (DBH) kepada Kementerian Keuangan.

Anies dan Sri Mulyani pun kerap berbeda pendapat soal DBH ini. Sedikit informasi, DBH merupakan dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah. Besarannya tersebut berdasarkan angka persentase tertentu untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Tujuan DBH adalah untuk memperbaiki keseimbangan vertikal antara pusat dan daerah. Namun, dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.

Okezone pun merangkum fakta-fakta menarik soal Anies dan Sri Mulyani yang mempermasalahkan DBH, Minggu (17/5/2020):

1. Pertikaian Anies vs Sri Mulyani

Di tengah sibuk-sibuknya penanganan pandemi virus corona atau Covid-19, dua pejabat 'bertikai'. Mereka adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani vs Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Uang menjadi sumber masalah kedua pejabat tersebut. Uang yang dimaksud di sini pembayaran dana bagi hasil (DBH) ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

2. Drama DBH

Permasalahan ini dimulai ketika Sri Mulyani menyebut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak memiliki anggaran untuk membantu masyarakat miskin dan terdampak virus corona. Untuk itu, pemerintah pusat mengambil alih penyaluran bansos di DKI Jakarta.

"Kami dapat laporan, dari Menko PMK, ternyata DKI yang tadinya cover 1,1 juta warganya mereka tidak punya anggaran dan minta pemerintah pusat yang covering terhadap 1,1 juta warga," ujarnya Sri Mulyani .

Pernyataan Sri Mulyani sontak membuat geger. Tak ingin bola liar di tangan Pemprov DKI Jakarta, mereka menyebut Kementerian Keuangan (Kemenkeu) harus membayar tunggakan DBH tahun 2019 sebesar Rp5,16 triliun. DBH ini bisa dimanfaatkan untuk penanganan dampak Covid-19.

Namun, Sri Mulyani baru mencairkan DBH sekira Rp2,6 triliun dan sisanya menunggu hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sayangnya, pernyataan Sri Mulyani bertolak belakang dengan BPK.

2. Lantas Bagaimana Ketentuannya?

Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, tidak ada satupun ketentuan Undang-Undang yang mengatur bahwa pembayaran kewajiban oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah menunggu hasil audit BPK. Misalnya dalam undang-undang dasar, UU 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, maupun UU nomor 1 tahun 204 tentang Perbendaharaan Negara

"Yang kami lakukan pemeriksaan di sini, dan yang dilakukan Pemerintah Pusat dalam hal ini kementerian keuangan adalah pengelolaan keuangan negara dasarnya sudah jelas," ucapnya.

3. Kata BPK soal Ribu DBH Jakarta

Menurut Ketua BPK Agung Firman Sampurna, pembayaran DBH tidak perlu menunggu hasil audit dari BPK. Bahkan menurutnya, pemerintah sama sekali tidak relevan untuk menggunakan hasil pemeriksaan BPK sebagai dasar pembayaran DBH.

"Penting untuk ditegaskan di sini tidak relevan menggunakan pemeriksaan BPK sebagai dasar untuk bayar DBH," ujarnya, Senin 11 Mei 2020.

Halaman:
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement