Meskipun pertumbuhan aset, Dana Pihak Ketiga (DPK) maupun kredit bank memang melandai ketika pandemi. Bahkan hingga Maret 2021 masih -2,14 persen. Hal itu kata Anung, perbankan makin selektif dalam penyaluran kredit di tengah persepsi tinggi risiko kredit seiring dampak Covid-19.
Pemicunya jelas datang sektor kesehatan. Kebijakan apapun dilakukan tidak akan berdampak jika masalah kesehatan Covid-19 ini belum tertangani lebih dulu.
Namun bukan berarti kredit tak berjalan. Anung merinci, di Januari 2021 saja fresh loan atau pinjaman baru yang disalurkan sebanyak Rp95 triliun, Februari 2021 sebanyak Rp114 triliun, dan Maret 2021 sebesar Rp140 triliun.
"Lalu kenapa Maret 2021 kredit masih kontraksi? Ini karena pelunasan dan penghapusan kredit lebih besar dari pada pertumbuhan kredit. Jadi perusahaan tidak mengambil fasilitas justru mengambil pelunasan," jelasnya.
Begitu juga dengan indikator kesehatan bank, yang menurut Anung mayoritas masih dalam rentang yang masih wajar. Hal ini terlihat dari Loan at Risk (LaR) yang mencapai 23,30%
Anung menegaskan, terlepas dari krisis dan kredit restrukturisasi, sebenarnya yang membuat otoritas tenang adalah, adanya nilai buffer bank ketika terjadi krisis, yang justru tumbuh menguat.
"Terlihat dari AL/NCD yang mencapai 154,53% per Maret 2021. Di mana batas minimal 50%. Nah ini terbukti naik 3 kali lipat dari normal," sebutnya.
Itu artinya, kata Anung, secara likuiditas bank tak bermasalah. Apalagi saat pandemi, masyarakat lebih banyak yang menabung uang di bank. Di mana CAR perbankan mencapai 24,1% atau tertinggi dalam sejarah.
"Masalah kesehatan ini harus diselesaikan, karena dengan stimulus apapun tidak akan efektif jika kesehatan tak diprioritaskan," tegasnya.
Anung mengatakan, POJK 11/2020 merupakan kebijakan antisipasif dan countercyclical, bahkan sudah dilakukan sejak Februari 2019 sebelum Covid-19. POJK ini diibaratkan ventilator atau ruang bernafas kepada debitor untuk meredam dampak Covid-19.
(Dani Jumadil Akhir)