JAKARTA - Mayoritas nasabah bank saat ini di Myanmar depresi dalam mendapatkan uang tunai. Mereka harus berbaris antri di ATM sejak pukul 3.30 pagi. Jelang fajar, antrean semakin membengkak menjadi lebih dari 300 orang. Siang hari suhu lebih dari 38° C, dan banyak yang masih menunggu. Mereka hanya berharap bisa menarik uang dari rekening banknya sendiri.
Dilansir dari The Strait Times, Selasa (10/8/2021) sejak militer merebut kekuasaan melalui kudeta enam bulan lalu, Myanmar telah lumpuh karena kekurangan uang. Demi pencegahan aksi masyarakat menguras uang di bank, ATM pun dipilih secara acak untuk diisi dengan uang tunai setiap hari. Penarikan uang tunai dibatasi dengan biaya yang setara dengan USD120.
Baca Juga: BI Tambah Likuiditas Perbankan Rp833,9 Triliun selama Pandemi
Kelumpuhan ekonomi memiliki konsekuensi besar. Uang tunai dalam kondisi kering, nasabah tidak dapat menarik tabungan mereka, pelanggan tidak dapat membayar, dan perusahaan tidak dapat membayar pekerja atau kreditor mereka. Pinjaman dan utang akan dihapus.
Nilai Kyat, mata uang Myanmar, telah merosot 20 persen terhadap USD.
Hanya kurang dari 100 ATM kini yang memiliki uang tunai setiap hari. Penimbunan uang telah tersebar luas, dan banyak bisnis hanya akan menerima uang tunai, bukan transfer bank digital.
Baca Juga: Ketua OJK Sebut Ada Efek Samping Penumpukan Dana di Perbankan
Generasi baru broker mata uang bermunculan untuk menyediakan uang tunai dalam pertukaran untuk transfer online dengan biaya 7—15 persen. Pada dasarnya, Myanmar sekarang memiliki dua nilai untuk uang: nilai yang lebih tinggi untuk uang tunai dan nilai yang lebih rendah untuk dana online.
Para pakar memperingatkan bahwa negara ini sedang mengalami krisis keuangan yang parah.
"Saat ini, semuanya membeku," kata Richard Horsey, penasihat senior di Myanmar for the International Crisis Group. "Ini adalah krisis ekonomi yang mendalam dan mendalam. Ini adalah masalah kepercayaan — kepercayaan pada rezim, bank dan ekonomi."