JAKARTA - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membeberkan bagaimana kondisi pasca-krisis moneter di 1998. Dia menilai krisis terjadi akibat makro ekonomi yang diambil negara-negara ASEAN dengan industrialisasi berorientasi ekspor yang cukup kompetitif.
"Sehingga dia (negara-negara ASEAN) selalu bisa mendapatkan devisa dari ekspornya, waktu itu sebagian dari sisi fundamental ekonomi juga sudah cukup kompetitif, namun makro kebijakan itu ditopang terutama dari sisi moneter adalah kebijakan nilai tukar yang fix. Atau nilai tukar yang tetap sehingga dolar terus menerus tetap terhadap local currency," ujar Sri Mulyani, Minggu (24/10/2021).
Sri Mulyani menambahkan bahwa krisis moneter di trigger dengan fenomena current account deficit (CAD) di negara-negara di ASEAN dan Asia Timur termasuk Korea Selatan. Ini terjadi karena itu berhubungan dengan capital account langsung.
Baca Juga:Â Krisis Pasti Akan Datang, Tiap Berapa Tahun?
"Jadi capital flow nya bebas tetapi nilai tukarnya fix dan kemudian terjadilah CAD. Di mana CAD itu mencapai level yang disebut biasanya 3% sebagai trigger dianggap negara itu mungkin tidak sustainable," ujarnya.
Sustainable itu sendiri dilihat dari sisi apakah kebijakan diambil negara-negara konsisten. Sehingga kemudian munculnya fenomena yang mendapatkan keuntungan besar dari nilai tukar yang dia ambil dari negara yang nilai tukarnya tidak sustainable. Sehingga nilai tukarnya rugi tidak bisa dipertahankan, akibat CAD semakin mengalami penurunan.
Itulah yang kemudian nilai tukarnya mengalami koreksi yang koreksinya mendalam, trigger-nya terjadi domino efek.
"Jadi kalau kita lihat krisis pertama adalah krisis yang di trigger oleh neraca pembayaran karena rezim nilai tukar yang fix," ujarnya.
Dengan kondisi berubah ini, maka domino efeknya adalah kepada perusahaan-perusahaan dan perbankan yang meminjam di negara-negara luar termasuk Indonesia.
Baca Juga:Â Sri Mulyani Ambil Peluang saat Krisis, Apa Tuh?
Sebab, jika perusahaan atau perbankan meminjam dalam bentuk dolar di luar negeri karena nilai tukarnya murah, begitu nilai tukarnya dikoreksi dari Rp2.500 menjadi Rp5.000, menjadi Rp7.500, menjadi Rp10.000 bahkan jadi Rp17.000 maka akan berdampak kepada kondisi keuanga
Follow Berita Okezone di Google News