JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani melakukan reformasi di bidang perpajakan. Hal ini dilakukan karena backbone utama pendapatan APBN berasal dari penerimaan perpajakan.
Teranyar, salah satu yang akan ditetapkan adalah pajak karbon. Sri Mulyani menekankan aturan pajak karbon untuk menghadapi isu perubahan iklim atau climate change.
Baca Juga: Siap-Siap! Sri Mulyani Bakal Pungut Pajak dari Bos yang Dapat Fasilitas Jet Pribadi
"Pajak karbon bukan berarti, wah bu Sri Mulyani sedang ngamuk segala sesuatu CO2 dipajaki, tidak begitu. Karena DPR pasti mengupayakan agar kita tetap proper. Jadi DPR minta supaya pemerintah memiliki peta jalan, jadi kita membuatnya," ujar Sri Mulyani di Jakarta, Selasa (14/12/2021).
Kata dia, pajak karbon akan menjadi instrumen pelengkap dari carbon trading. Oleh karena itu melalui UU HPP ini ditetapkan tarif pajak karbon paling rendah Rp30 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau sekitar USD2 per ton CO2e.
Baca Juga: Pertamina Belum Bayar Pajak Bahan Bakar, Ahok: Tinggal Transfer
"Angka ini hampir sama dengan yang di Singapura, tapi kalau dibandingkan negara seperti Kanada yang sudah di USD45 atau bahkan mendekati USD75 dalam adjustment tahun ini. Ini sangat murah karbonnya dijual murah, maka kita mencoba membangun," bebernya.