Kesepakatan pengambilalihan ini terjadi saat Twitter menghadapi semakin banyak tekanan dari para politikus dan regulator. Mereka selama ini mengeluhkan konten yang muncul di platform ini.
Twitter mendapat kritik dari kelompok kiri dan kanan atas upaya mereka menengahi informasi keliru.
Salah langkah Twitter yang paling disorot adalah saat mereka menutup akses mantan Presiden AS, Donald Trump, menggunakan media sosial ini.
Walau Trump barangkali merupakan salah satu pengguna Twitter yang paling memiliki kuasa, mereka berkeras melarang Trump dengan alasan meredam risiko "hasutan kekerasan".
Saat peristiwa itu terjadi, Musk mengunggah cuitan dan berkata, "Banyak orang akan sangat tidak senang teknologi tinggi dari kawasan Pantai Barat AS secara tidak resmi menjadi penengah kebebasan berbicara."
Bagaimanapun, berita Musk mengambil alih Twitter disambut gembira oleh kelompok kanan di AS. Namun Trump awal pekan ini berkata kepada Fox News bahwa dia tidak berencana untuk kembali menggunakan Twitter.
Otoritas Gedung Putih menolak mengomentari pengambilalihan tersebut. "Tidak peduli siapa yang memiliki atau menjalankan Twitter, Presiden Joe Biden sejak lama khawatir tentang kekuatan platform media sosial yang besar," kata Juru Bicara kantor kepresidenan AS, Jen Psaki.
Di Twitter, anggota parlemen sekaligus Ketua Komite Digital, Budaya, Media dan Olahraga Inggris, Julian Knight, menyebut kesepakatan itu sebagai "perkembangan luar biasa di dunia media sosial".
"Menarik untuk melihat bagaimana Twitter beroperasi dengan status perusahaan pribadi (dijalankan oleh seorang pria yang absolutis atas kebebasan berbicara) dan bagaimana mereka menyikapituntutan global untuk mengatur media sosial," cuit Knight.