Adapun dari sisi konsistensi penetapan harga, pemerintah juga sudah sewajarnya tidak pilih kasih dalam mengimplementasikan regulasi. Perlakuan yang equal atau sama rata untuk semua badan usaha terhadap penugasan penyaluran BBM oleh pemerintah, tidak hanya dibebankan kepada Pertamina saja.
"Volume penugasan penyaluran BBM diberikan secara proporsional kepada seluruh badan usaha berdasarkan volume penjualan mereka per tahun," ungkapnya.
Dia juga menerangkan kalau selama ini, hanya dua badan usaha yang mengemban tugas menyalurkan BBM tertentu atau jenis Solar yakni Pertamina dan PT AKR Corporindo Tbk. Namun volume BBM yang ditugaskan kepada kedua perusahaan tersebut gap-nya terlalu jauh.
Dia menyarankan agar jumlah pemberian subsidi sebaiknya tidak sama di seluruh Indonesia, melainkan diatur secara proporsional berdasarkan tingkat ekonomi masing-masing daerah.
"Misalnya, daerah tertinggal tentu harus lebih mendapatkan subsidi dibandingkan Jakarta atau kota besar lainnya,” sarannya.
BACA JUGA:Jaga Kelancaran Distribusi, Pertamina Kerahkan 199 Kapal Angkut Avtur dan BBM
Diketahui, BPH Migas mencatat penyaluran BBM jenis solar subsidi telah melebihi kuota. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor yang di antaranya adalah adanya lonjakan permintaan karena gap harga antara solar subsidi dan nonsubsidi terlalu jauh.
Untuk harga Solar subsidi mencapai Rp5.150 per liter, sedangkan harga Solar nonsubsidi (Dexlite) mencapai Rp12.950-an per liter dan Pertamina Dex Rp13.700 per liter.
Namun, gap harga ini yang diduga membuat pembeli Solar nonsubsidi beralih ke Solar subsidi.
Apalagi soal penyalahgunaan oleh kendaraan tambang dan perkebunan yang membeli solar subsidi.
Kini, Polri dan BPH Migas bekerja sama dengan Pertamina untuk bisa mengendalikan penyalahgunaan penggunaan BBM subsidi tersebut.
(Zuhirna Wulan Dilla)