"Kalau sopir truk yang membantu kelancaran arus barang mogok, distribusi barang bisa kacau. Namun, kalau pengemudi ojek daring mogok, distribusi barang dipastikan tetap akan berjalan," katanya.
Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu juga menilai pendelegasian anggaran subsidi transportasi umum ke daerah sangat rawan penyelewengan, karena hingga kini tidak ada database driver (pengemudi) online. Bahkan hingga sekarang pemerintah tidak memiliki data jumlah driver online karena tidak diberikan oleh aplikator.
Djoko mengemukakan hingga tahun 2022 ini, angkutan umum penumpang makin berkurang. Begitu pula angkutan pedesaan, angkutan kota dan angkutan kota dalam provinsi (AKDP) kini cukup banyak yang hilang. Banyak kota sudah tidak memiliki angkutan perkotaan akibat tergerus dengan sepeda motor yang mudah dimiliki.
"Risikonya angka kecelakaan makin bertambah dan konsumsi BBM juga pasti bertambah. Belum lagi kemacetan dan polusi udara meningkat sejalan dengan bertambahnya kendaraan bermotor," katanya.
Oleh karena itu, pemerintah dinilai perlu fokus menata dan mengembangkan angkutan umum penumpang. Menurut dia, tanpa menaikkan harga BBM bersubsidi, penyaluran kepada operator angkutan umum amat dimungkinkan.
Saat ini, pengawasan penyaluran BBM bersubsidi untuk angkutan umum bisa dilakukan melalui aplikasi yang ditunjang dengan penataan operator. Djoko mengatakan hal ini bisa menjadi momentum untuk penataan angkutan umum sehingga seluruhnya berbadan hukum dan menjamin keselamatan dan keamanan pengguna.
"Pemerintah perlu memberikan subsidi untuk angkutan umum, baik angkutan penumpang maupun barang yang berbadan hukum. Subsidi angkutan barang diberikan untuk meningkatkan kesejahteraan pengemudi yang selama ini kerap dilirik sebelah mata oleh pemerintah. Padahal, pengemudi angkutan barang menjadi ujung tombak kelancaran arus barang," katanya.
(Taufik Fajar)