JAKARTA - Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Dwi Soetjipto memproyeksi bahwa harga minyak dunia di kisaran USD 90 per barel pada tahun 2023. Menurut dia, hal itu dipengaruhi ancaman resesi ekonomi hingga konflik geopolitik yang masih panas.
Dwi Soetjipto membeberkan beberapa kondisi global yang memengaruhi harga minyak tahun depan. Pertama, ancaman resesi ekonomi global, terlihat dari kenaikan inflasi di berbagai negara.
"Harus ada beberapa skenario. So far kita masih pegang harga minyak USD 90 sebagai harga di 2023, boleh jadi akan turun nanti apabila terjadi pelemahan ekonomi," kata Dwi saat konferensi pers di SKK Migas, Senin (17/10/2022).
Dwi menuturkan, kenaikan inflasi dipengaruhi pula oleh lonjakan harga komoditas energi karena perang Rusia dan Ukraina sepanjang tahun 2022. Hal ini, menurut dia, akan berbanding terbalik dengan pertumbuhan ekonomi.
"Kalau kenaikan inflasi tidak terkendali, maka pertumbuhan makin menurun, kemudian krisis ekonomi, dampaknya ke hulu migas permintaan menurun sangat drastis, akan berdampak ke demand, produksi, dan harga minyak. Kita hati-hati dalam menganalisis harga ke depan," tuturnya.
Kondisi lain, lanjut Dwi, adalah komitmen transisi energi yang berdampak kepada pecahnya portofolio investor kepada sektor energi baru terbarukan (EBT), sehingga pendanaan atau investasi di hulu migas menjadi seret.
Follow Berita Okezone di Google News
Meski begitu, upaya transisi energi ini memunculkan prospek komoditas baru yaitu gas alam cair (LNG). Menurut dia, permintaan LNG akan tumbuh besar di tengah potensi resesi atau krisis ekonomi global.
Selain itu, Dwi juga memaparkan lima kondisi global industri migas yang perlu dicermati pemerintah, yaitu terkait kebijakan OPEC+ baru-baru ini memangkas target produksi 2 juta barel per hari (BOPD).
"Ketika inflasi tinggi, orang akan rem investasi kemudian kebutuhan migas akan menurun, itu membuat harga menjadi turun. Ketika harga turun, OPEC kurangi produksi, harga bisa naik lagi," jelasnya.
Selanjutnya, produksi Amerika Serikat (AS) sangat berperan terhadap pasokan migas dunia harus dicermati untuk menyeimbangkan kebijakan OPEC+. Lalu, kebutuhan konstruksi China yang sempat tertahan karena pandemi, akan semakin tinggi.
"Kemudian ekspor minyak Rusia yang beberapa saat ini kemungkinan akan ada ancaman keluar tanggal 5 Desember, apakah ekspor terhambat dengan kebijakan itu," tutur Dwi.
Dia melanjutkan kondisi lain yaitu reaksi Rusia terhadap sanksi pembatasan harga minyak (price cap) dari negara maju, konflik antara Iran dan AS, dan penggunaan energi nuklir juga akan menyulitkan prediksi harga minyak tahun depan.
Dwi memaparkan kebijakan perusahaan migas global terhadap alokasi keuntungan yang diperoleh dari kenaikan harga minyak juga akan berpengaruh. Dia berkata, investasi dari keuntungan yang diperoleh ke hulu migas hanya 27%.
Selebihnya, kata Dwi, akan digunakan perusahaan untuk membayar utang, konsolidasi bisnis, investasi lain seperti di sektor EBT, dan sebagian akan digunakan untuk membayar dividen.
"Meskipun harga naik tajam, investasi tidak signifikan pertumbuhannya jadi banyak pertanyaan harga tinggi kenapa investasi tak setinggi harga minyak. Mereka lihat kondisi dinamis, ada ancaman krisis sehingga dahulukan bayar utang," pungkasnya.
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.