JAKARTA - Kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) akan berdampak ke sejumlah sektor. Salah satunya adalah kenaikan bunga kredit kendaraan bermotor hingga KPR.
Untuk diketahui, suku bunga acuan BI naik sebesar 50 bps menjadi 4,75% di bulan Oktober 2022 bakal dirasakan masyarakat Indonesia. Kenaikan suku bunga BI akan berdampak ke beban hidup dari perbankan lantaran bunga pinjaman di bank bakal meroket hingga soal lapangan kerja.
Dampak suku bunga acuan yang naik memang diharapkan BI mampu memperkuat kurs rupiah terhadap dolar. Saat ini rupiah masih bertengger di angka Rp15.600 per dolar AS.
Namun, dampak kenaikan suku bunga ini membuat para pelaku usaha akan berpikir dua kali untuk mengambil kredit. Pembayaran bunga dan cicilan modal usaha yang kadung diambil pun tampaknya harus direstrukturisasi.
Di tingkat rumah tangga, harga kebutuhan pokok akan meningkat bersamaan dengan naiknya harga BBM dan konsumsi energi lainnya. Selain itu, tingkat pembelian rumah dengan sistem kredit perumahan rakyat (KPR) dan cicilan motor juga diprediksi turun.
Analis Reliance Sekuritas Lukman Hakim mengatakan untuk sektor properti loan to value (LTV)/financing to value (FTV) kredit menjadi paling tinggi 100% untuk semua jenis properti.
Dengan kenaikan suku bunga acuan, bunga KPR akan menyesuaikan, sehingga harus tetap memperhatikan prinsip kehatian-hatian dalam manajemen risiko yang berpotensi terjadi peningkatan non performing loan/non performing financing (NPL/NPF).
Baca Juga: Ketahui Kerugian Membeli Mobil Bekas Banjir
Follow Berita Okezone di Google News
Di sisi lain, adanya perpanjangan insentif uang muka untuk kredit kendaraan bermotor dan properti hingga akhir 2023, kembali memberikan angin segar untuk kedua sektor tersebut.
Analis Senior CSA Research Institute Reza Priyambada menilai sentimen lain untuk properti memang ada dari suku bunga acuan, namun tak lantas membuat naik bunga KPR. Sehingga jika ada sentimen negatif, maka berimbas pada penurunan saham-saham properti secara umum.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi (overshooting) dan memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 3,0±1% lebih awal yaitu ke paruh pertama 2023, serta memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat semakin kuatnya mata uang dolar AS dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global.
Pertumbuhan ekonomi global kini melambat disertai dengan tekanan inflasi yang tinggi dan meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global.
Setelah membaik di 2022, pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2023 diprakirakan akan lebih rendah dari sebelumnya, bahkan disertai dengan risiko resesi di beberapa negara. Revisi ke bawah pertumbuhan ekonomi terjadi di sejumlah negara maju terutama Amerika Serikat, Eropa, dan juga di Tiongkok.
Perlambatan ekonomi global dipengaruhi oleh berlanjutnya ketegangan geopolitik yang memicu fragmentasi ekonomi, perdagangan dan investasi, serta dampak pengetatan kebijakan moneter yang agresif. Dampak rambatan dari fragmentasi ekonomi global diprakirakan juga akan menyebabkan perlambatan ekonomi di Emerging Markets (EMEs).
Sementara itu, tekanan inflasi dan inflasi inti global masih tinggi seiring dengan berlanjutnya gangguan rantai pasokan sehingga mendorong bank sentral di banyak negara menempuh kebijakan moneter yang lebih agresif.
Kenaikan suku bunga acuan bisa mengganggu usaha sektor riil membuat bisnis terhambat dan ketersediaan lapangan kerja di Indonesia bakal bermasalah.
Meski demikian, kenaikan suku bunga acuan yang belum terlalu berdampak saat ini sudah diperkirakan oleh semua pihak sehingga baik sektor perbankan, pelaku usaha, dan lainnya sudah dapat mengantisipasi.
Konten di bawah ini disajikan oleh Advertiser. Jurnalis Okezone.com tidak terlibat dalam materi konten ini.