Hilirisasi di sektor mineral dan batu bara (minerba) adalah kunci pengoptimalan dari produk-produk pertambangan minerba.
Kebijakan hilirisasi ini harus direspons dengan industri-industri hilirnya, karena industri pendukung inilah yang akan menampung hasil dari produk yang sudah di hilirisasi.
Baca Juga: Tegas! Hilirisasi Indonesia Jalan Terus meski Ditekan Sana-sini Termasuk WTO
Dalam undang-undang minerba yang baru sudah disyaratkan harus ada program hilirisasi, jadi setiap produk pertambangan minerba harus diproses lebih lanjut, seperti misalnya untuk produk batu bara, bisa diproses misalnya menjadi sintesis gas untuk produk-produk petrokimia, ditingkatkan nilai kalorinya sehingga dapat digunakan untuk industri-industri baja.
Hilirisasi akan menjadi andalan ke depan untuk berkontribusi pada penerimaan negara, selain dari pajak dan dari batubara. Gasifikasi batu bara juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan gas untuk rumah tangga.
Kemudian untuk mineral, ada tembaga, nikel, emas, timah, bauksit dan alumunium, semuanya itu merupakan bahan baku industri-industri berat yang bisa dioptimalkan pemanfaatannya di dalam negeri.
Kebijakan hilirisasi produk-produk pertambangan adalah kebijakan strategis nasional untuk meningkatkan nilai tambah dan meningkatkan penerimaan negara.
Kementerian ESDM sendiri memproyeksikan, pada 2022 mendatang ada 52 unit smelter yang beroperasi, terdiri dari smelter nikel sebanyak 29 buah, 9 smelter bauksit, 4 smelter besi, 4 smelter tembaga, 2 smelter mangan, serta 4 smelter seng dan timbal.
Manfaat dari hilirisasi nikel sudah terlihat. Sebelum hilirisasi, nilai ekspor nikel Rp17 triliun atau USD1,1 juta pada akhir tahun 2014. Namun kini melonjak menjadi Rp326 triliun atau USD20,9 juta pada tahun 2021 atau meningkat 19 kali lipat.