Sebanyak 20 perusahaan Terlapor merupakan anggota GIMNI, sedangkan 7 Terlapor lainnya bergabung dengan asosiasi berbeda. Salah satu bukti yang diajukan Investigator KPPU dalam menyusun dugaan adalah rapat-rapat yang diselenggarakan oleh GIMNI sepanjang 2019 sampai dengan awal 2022.
Terkait dengan dugaan pelanggaran tersebut, Sahat bisa memaklumi adanya kecurigaan dari KPPU. Namun, dia menegaskan tidak ada dan tidak memungkinkan ada kartel di industri minyak goreng kemasan.
“Tidak ada kartel, karena persaingannya begitu ketat. Pemainnya ratusan. Jumlah anggota GIMNI saja ada 43 perusahaan. Lagipula dengan begitu banyaknya pelaku, sangat sulit membuat kesepakatan. Suami istri saja sering tidak bersepakat,” cetus Sahat.
Menurutnya, masalah kenaikan harga minyak goreng disebabkan oleh kenaikan harga crude palm oil (CPO) sebagai bahan baku, seiring meningkatnya permintaan akibat turunnya pasokan minyak nabati di pasar global.
Sementara kelangkaan minyak goreng lebih disebabkan peraturan pemerintah yang berubah-ubah dalam waktu singkat, terutama mengenai harga eceran tertinggi (HET) dan DMO/DPO minyak goreng, serta persoalan didistribusi.
“Seharusnya ini (distribusi) jangan diserahkan begitu saja ke swasta, tetapi harus oleh pemerintah. Serahkan saja ke Bulog atau ID Food. Karena sulit mengatur harga minyak goreng, berbeda dengan BBM yang memang hanya dipegang oleh Pertamina untuk distribusinya,” tandas Sahat.
(Zuhirna Wulan Dilla)