JAKARTA - Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan produksi opium, yang merupakan bahan baku narkotika, meningkat tajam di Myanmar setelah sempat menurun selama tujuh tahun.
Angka produksi opium menyentuh hampir 795 metrik ton pada 2022, meningkat dua kali lipat dari 423 metrik ton pada 2021, yang merupakan tahun terjadinya kudeta militer di Myanmar.
PBB meyakini bahwa peningkatan produksi ini didorong oleh kesulitan ekonomi, sementara harga resin opium yang digunakan untuk membuat heroin justru meningkat.
Kudeta di Myanmar telah menjerumuskan sebagian besar masyarakatnya ke dalam perang saudara berdarah, yang masih berlanjut sampai saat ini.
“Gangguan ekonomi, keamanan, dan tata kelola setelah pengambilalihan [kekuasaan oleh] militer pada Februari 2021 bercampur menjadi satu, sehingga petani-petani di daerah terpencil yang rawan konflik seperti di Shan utara dan di negara bagian yang dekat dengan perbatasan, tidak punya pilihan selain kembali ke opium,” kata Jeremy Douglas, perwakilan regional Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC).
Laporan yang dirilis pada Kamis ini menunjukkan bahwa perekonomian Myanmar dihadapkan pada guncangan eksternal dan domestik pada 2022, seperti yang terjadi pada perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan situasi politik tidak stabil dan inflasi melonjak.