Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Harga Makan Sepiring Nasi di Warteg Kini Mahal, Masih Aman untuk Kantong Karyawan?

Hana Wahyuti , Jurnalis-Sabtu, 17 Juni 2023 |12:02 WIB
Harga Makan Sepiring Nasi di Warteg Kini Mahal, Masih Aman untuk Kantong Karyawan?
Warteg. (Foto: BBC)
A
A
A

JAKARTA - Harga lauk di warung Tegal (Warteg) kini mengalami kenaikan hingga dua kali lipat. Di mana saat ini harga makanan di sana lebih mahal dibandingkan 10 tahun lalu.

Kenaikan itu disebut terjadi karena tingginya harga bahan pangan dan dan biaya operasional seperti harga sewa kontrakan menjadi faktor utama.

 BACA JUGA:

Untuk warteg di kawasan Jakarta dan memesan nasi ayam, minimal Anda harus merogoh kocek Rp17.000 atau lebih. Bandingkan dengan 10 tahun lalu, Anda hanya perlu mengeluarkan sekitar Rp11.500.

"Mungkin kalau dulu nasi, tempe orek, telur, dan sayur (seharga) Rp10.000 dapat. Kalau sekarang mungkin sekitar Rp12.000 atau Rp13.000. Bahkan bisa Rp13.000 atau Rp14.000. Lumayan naiknya. Tapi mungkin tergantung daerah juga ya, karena dekat asrama (mahasiswa) lebih murah," kata seorang karyawan bernama Axel Pradikie.

Jika mengulik lebih dalam, sebuah warteg milik Yati dan Supri di sekitar Jalan Irian, Gondangdia, Jakarta Pusat juga sudah menaikkan harga makanannya.

 BACA JUGA:

Yati merasa harga barang belanjaannya di pasar - mulai dari telur, beras, hingga ayam - masih tak kunjung turun.

"Kalau ayam, kami ambilnya empat ekor (per hari). Dulu satu ekor itu Rp25.000, sekarang Rp28.000. Naik Rp3.000 semenjak lebaran," keluh Yati sambil menggoreng paha ayam kuning.

Penjual warteg lainnya, Warto, juga mengamini kenaikan sejumlah harga bahan pangan seperti cabai merah.

"Bisa sampai Rp70.000. Bahkan beberapa minggu yang lalu sampai Rp120.000 per satu kilogram. Pas hujan deras mungkin dan susah panen, faktor cuaca mungkin," ujar Warto di warteg waralaba Kharisma Bahari miliknya di bilangan Kampus Universitas Bina Nusantara Syahdan, Jakarta Barat.

Merujuk data BPS dan Kementerian Perdagangan, dari 19 harga komoditas bahan pangan yang terdapat di kalkulator warteg di atas, komoditas dengan lonjakan inflasi paling tinggi dalam satu dekade yakni kentang dan telur.

Harga kentang kini sekitar Rp18.000 atau meningkat 90% dibanding 10 tahun lalu. Sementara, harga telur per kilogram melonjak hingga 75%, tercatat sekitar Rp30.000 per akhir Mei 2023. Untuk periode yang sama, harga beras naik sekitar 34%

Tantangan lain yang dihadapi para penjual warteg adalah tingginya harga sewa rumah atau kontrakan untuk lokasi berjualan. Faktor ini pula yang menentukan kenaikan harga menu warteg.

Survei BBC menunjukkan harga sewa kontrakan beragam mulai dari Rp200.000 hingga Rp5 juta sebulan. Harga paling murah ditemukan di Bogor dan Jakarta Utara. Sementara, paling mahal yakni di bilangan Ciracas dan Duren Sawit, Jakarta Timur.

"Harga sewa kontrakan mahal, maka harga jual nasi warteg juga naik. Nasi ayam di Setiabudi [Jakarta Selatan] bisa sampai Rp17.000 sampai Rp20.000 karena harga kontrakan mahal, beda dengan di Bekasi yang [harga sewa kontrakan] masih murah," kata Ketua Koperasi Warteg Nusantara yang juga pemilik warteg di Bekasi, Mukroni, pada BBC.

Hal senada diucapkan Warto yang mengaku harga kontrakan kini terbilang mahal.

"Yang naik signifikan cenderung harga sewa kontrakan, bukan harga belanjaan sebetulnya, taruhlah sekitar 5% - 10%," ungkap Warto.

Alhasil, Warto harus mengatur keuangannya supaya semua biaya operasional dapat tertutup oleh hasil penjualan.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Rusli Abdullah, mengurai alasan inflasi barang dan jasa yang tak bisa dihindarkan.

Pertama, inflasi bahan pangan. Inflasi ini dipicu banyak hal seperti kondisi cuaca, fenomena pola iklim seperti El Nino, meningkatnya permintaan pada saat hari besar keagamaan atau perayaan tertentu, dan keadaan geopolitik.

Hujan yang terus-menerus melanda atau kekeringan ekstrem lantaran El Nino bisa menyebabkan petani gagal panen.

Suplai beras dan produk hortikultura pun menipis meski permintaan naik. Dengan demikian, harga dapat melonjak.

Lebih jauh, kondisi Perang Ukraina berimbas pada harga energi, harga pangan impor seperti gandum yang digunakan untuk membuat mie telur, dan harga pupuk.

"Harga pupuk subsidi maupun non-subsidi akan naik dan ini mendongkrak kenaikan harga komoditas yang membutuhkan pupuk seperti jagung [yang digunakan] untuk pakan ternak. Tidak hanya jagung, tapi juga tanaman lain untuk konsentrat pakan ternak," ujar Rusli.

Kedua, inflasi harga sewa kontrakan atau rumah. Hal ini menunjukkan geliat ekonomi sudah kembali usai pandemi.

"Orang sudah mulai banyak [yang menyewa]. Itu menunjukkan kenaikan aktivitas ekonomi yang juga bisa berdampak pada usaha. Setiap tahun selalu ada kenaikan harga sewa 5%-10%," ucapnya.

Mesku begitu, Yati menceritakan bahwa dengan harga-harga yang terus naik, keuntungannya pun berkurang. Empat tahun lalu dia bisa belanja dengan modal Rp1,3 juta dan mendapat keuntungan Rp600.000 per hari. Namun kini, untung yang ia dapat hanya sekitar Rp300.000.

"Dulu keuntungan bisa separuhnya, sekarang enggak bisa. Paling bisanya seperempat," ujar Yati bermuka murung.

Hal senada diucapkan Warto yang laba warungnya merosot tajam, semula sekitar 33% pada 2018 kini menjadi 25% dari pendapatan kotor.

"Jadi [pengeluaran] kami masih ketutup dari hasil penjualan. Untuk gaji karyawan, untuk kontrakan, untuk ini dan itu masih ada sisanya. Walaupun enggak sebanyak dulu," kata Warto.

Lebih dari setengah responden meraup keuntungan bersih kurang dari Rp200.000 setiap harinya. Jika berjualan lima hari dalam sepekan, para pedagang ini mengantongi duit senilai Upah Minimum Regional (UMR) DKI Jakarta per 2023 dalam sebulan.

Namun warteg masih menjadi primadona kaum menengah ke bawah di sekitar Jakarta.

"Satu, karena murah itu sudah pasti. Dan hemat waktu. Jadi enggak perlu masak sehingga lebih efisien," ungkap Axel.

Hal yang serupa diungkapkan oleh Sandi Tri Pamungkas. Ia bekerja sebagai juru masak di restoran Argentina yang letaknya persis di seberang warteg milik Yati.

Walaupun Sandi memiliki keahlian memasak, ia tetap lebih menyukai makanan warteg dibandingkan masakannya sendiri. Alasannya adalah menu warteg yang terkesan 'rumahan', harganya yang murah dan lokasinya yang dekat.

"Kalau makan di warteg, saya jarang pilih menu yang sama. Biasanya yang penting ada sayurnya, ada proteinnya, ayam atau ikan," kata Sandi.

Terkait perubahan harga, dirinya mengaku tak kaget.

"Karena saya sudah tahu juga, saya juga orang kuliner juga, suka beli bahan baku," katanya

(Zuhirna Wulan Dilla)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement