JAKARTA - Pemerintah resmi melarang social commerce seperti TikTok Shop melakukan transaksi jual beli barang demi menciptakan fair trade.
Langkah itu ditempuh menyusul kondisi Pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat. Para pedagang berdarah-darah setelah dihantam gelombang pandemi Covid-19 dan kini digempur toko digital.
Selama rentang empat tahun terakhir, pasar tekstil terbesar se-Asia Tenggara ini kehilangan hampir 5.000 pengunjung.
Di lantai bawah Blok A Pasar Tanah Abang, suara pedagang yang lantang menjajakan dagangan mereka setiap kali orang lewat lebih mendominasi ketimbang transaksi tawar menawar.
"Boleh bunda, silakan ada ukuran, bahan impor silakan dilihat-lihat dulu bunda," ujarnya dikutip BBC Indonesia, Rabu (27/9/2023).
Di lorong-lorong kios, juga tak nampak lagi porter mondar-mandir memanggul karung besar berisi dagangan grosir.
Mereka lebih sering ngampar di dekat pintu masuk sembari menunggu panggilan dari pemilik toko.
Sedangkan pedagang di lantai atas, hanya bisa duduk sambil memainkan telepon selulernya karena nyaris tak ada orang lewat sebab sebagian besar kios tutup.
Di Blok A, dalam rentang 2019 hingga 2023, jumlah kios yang aktif berkurang 1000 unit dan angka pengunjung turun hampir 5.000 orang.
Sukmamalingga, salah satu pedagang bercerita Tanah Abang mulai sepi sejak tahun 2021 karena waktu itu Pemprov DKI Jakarta memberlakukan pembatasan kegiatan berskala besar (PSBB) dan menutup pasar selama hampir empat bulan.
Saat itu penjualannya anjlok 30%. Pada tahun 2022 saat pemerintah mengakhiri kebijakan PSBB pasar tekstil terbesar se Asia Tenggara ini kembali ramai. Orang-orang yang jenuh lantaran terkurung di dalam rumah membanjiri Pasar Tanah Abang.
Meski dagangannya tak begitu laku keras, tapi setidaknya stabil. Sekarang, kala situasinya benar-benar sudah pulih, ia tak habis pikir penjualannya malah melorot sampai 70%.
"Langganan saya dari daerah enggak ada yang belanja, padahal saya sering kirim foto-foto baju model baru. Bahkan produk saya upgrade, tetap enggak menarik pelanggan," ujar Lingga.
"Kalau dulu sebelum pandemi, saya bikin baju enggak mikir. Mereka berani pesan 100 potong selang beberapa hari sudah pesan lagi. Saya sampai kewalahan," katanya.
Lingga sudah sembilan tahun berdagang di Tanah Abang khusus busana muslim seperti kaftan.
Ia punya langganan di seluruh Indonesia.
Biasanya tiga bulan jelang hari raya Idulfitri adalah ramai-ramainya pedagang dari berbagai pelosok daerah memborong ke Tanah Abang. Tapi di tahun ini, hal itu tak terjadi.
Yang mengherankan lagi, pembeli dari Jakarta juga sama sepinya. Dalam sebulan pembeli yang datang ke tokonya cuma 10 orang. Padahal letak kiosnya di lantai bawah Blok B sangat strategis.
"Saya sampai enggak percaya, masak lebaran orang enggak beli baju baru? Tapi itu yang terjadi. Malah habis lebaran Idul Adha, pasar masih sepi," pungkasnya.
Tutup toko karena berbulan-bulan tak ada pembeli
Pedagang lainnya di Tanah Abang, Syamsul, juga senasib dengan Lingga. Kiosnya di lantai lima Blok B jarang dilewati orang.
"Dari pagi belum laris sampai sekarang jam 13.00," celetuknya.
Pria yang sudah berdagang di Tanah Abang sejak tahun 1997 ini bercerita lantai lima sebetulnya dialokasikan khusus penjual busana muslim dengan harga butik.
Tetapi sekarang tinggal enam toko yang bertahan.
Sisanya diisi oleh macam-macam barang, mulai dari sandal, pakaian dalam, dan celana.
Di Tanah Abang, dia punya dua toko. Tapi satu kios terpaksa tutup karena tak ada pemasukan. Empat karyawannya juga diberhentikan.
"Penjualan saya turun 95 persen. Coba aja lihat, baju yang sudah diobral juga enggak mau orang," imbuhnya dengan suara lemas.
"Pernah sebulan enggak ada pemasukan satu rupiah pun waktu lebaran kemarin."
Kini dalam seminggu paling cuma ada satu atau dua pembeli.
Tak ada lagi yang transaksi berkarung-karung dari seluruh Indonesia bahkan sampai ke Malaysia, Filipina, Thailand, dan Brunei.
Pria 53 tahun ini mengaku tak tahu berapa lama lagi bisa bertahan..
Yang pasti, kalau situasinya tak juga berubah, dia bakal pulang kampung ke Sumatra Barat. Entah berkebun atau beternak.
"Ini tahun paling parah, berdarah-darah, dari tahun kemarin," ucap Syamsul lirih.
(Taufik Fajar)