JAKARTA - Borgol emas merupakan istilah lama yang digunakan perusahaan untuk menggaet pekerja dengan iming-iming gaji besar, tapi kerjaannya penuh dengan tekanan.
Pekerja pun akan terjebak dalam situasi ini, di mana pekerjaan dan karier yang sebenarnya tidak disukai tapi mendapat imbalan gaji besar dan fasilitas mewah.
Meskipun ada keluhan mengenai pekan-pekan yang menyiksa, tugas-tugas yang membosankan, dan budaya yang tidak sehat, perusahaan-perusahaan menawarkan banyak uang kepada para pekerja yang sering kali membangun kehidupan mereka dari gaji yang besar.
“Borgol emas adalah praktik yang sudah lama dilakukan oleh perusahaan. Selama organisasi-organisasi masih ada, sudah banyak perusahaan yang membayar gaji tinggi untuk mempertahankan pekerja terbaiknya," ujar Profesor Tepper School of Business Universitas Carnegie Mellon, Rubab Jafry O'Connor, dikutip dari BBC Indonesia, Senin (18/3/2024).
Istilah ini pertama kali muncul pada 1976, yang menandakan era di mana gaji para bankir Wall Street mulai jauh melebihi gaji rata-rata pekerja sektor swasta.
Besarannya tentu lebih besar dari gaji pokok, dengan keseluruhan paket pendapatan yang dilengkapi dengan opsi saham, bonus dan tunjangan tahunan yang sampai mencapai enam digit – dan seterusnya.
"Bagi pengusaha, borgol emas bukan hanya alat retensi tradisional, melainkan juga sarana untuk memastikan pekerja secara rutin melakukan yang terbaik dalam pekerjaannya," kata Jafry O'Connor.
Dengan kompensasi yang besar berarti karyawan harus tunduk pada keinginan perusahaan.
“Jika saya membayar kamar di Fairmont, saya mengharapkan lebih dari jika saya menginap di Motel 6,” katanya.
“Jadi, dengan gaji yang lebih besar, muncul pula ekspektasi yang lebih besar, Anda akan diberi kompensasi atas waktu dan energi ekstra yang harus Anda curahkan untuk pekerjaan itu,” sambungnya.
Namun sebagai imbalan atas gaji yang besar, para pekerja sering kali harus menanggung membayarnya dengan kualitas hidup mereka. Hal ini khususnya terjadi pada karyawan tingkat junior, dalam banyak kasus, pekerjaan dilakukan secara bertahap dari tingkat atas.
Penulis Lead Without Burnout, Ryan Renteria adalah seorang mitra di dana lindung nilai Wall Street ketika dia berhenti, pada usia 30 tahun.
"Peluang kompensasi tidak masuk akal. Setiap enam bulan setelah Anda membukukan hasil investasi yang kuat, Anda akan menerima bonus besar lainnya yang ditangguhkan sebagian, Anda akan kehilangannya jika Anda keluar,” ujarnya.
Namun Renteria kehabisan tenaga dan pergi. “Dampak pekerjaan ini tidak baik buat kesehatan mental dan fisik saya,” katanya.
"Tingkat kecemasan dan stres saya sangat tinggi, pola makan, olah raga, dan tidur saya berantakan. Saya keluar karena saya merasa melanjutkan jalur ini akan menghancurkan segalanya yang penting bagi saya," katanya.
(Feby Novalius)