JAKARTA – Subsidi gas industri dinilai tidak mampu menciptakan produk yang murah. Pasalnya, program subsidi harga gas bumi tertentu (HGBT) kepada sejumlah industri tidak efektif.
“Kebijakan HGBT ini seharusnya mampu menurunkan harga pokok produksi (HPP), tetapi dalam praktiknya tidak terjadi penurunan signifikan,” jelas Ekonom Universitas Brawijaya Candra Fajri Ananda, Senin (18/3/2024).
Menurutnya, meskipun harga eceran produk tidak berubah, namun HPP tidak turun. Itu sebabnya, ia menilai bahwa tantangan yang dihadapi oleh sektor industri bukan pada persoalan gas, melainkan akibat kegiatan operasional perusahaan yang efisien.
“Kami mendeteksi bahwa sektor korporasi mungkin tidak beroperasi secara efisien yang mengakibatkan potensi kerugian yang signifikan. Korporasi juga perlu memastikan penggunaan gas meningkat, ketersediaan dan distribusi gas lancar, serta efisiensi dalam penyaluran,” ungkapnya.
Dari 7 sektor industri yang mendapatkan subsidi HGBT, ia melanjutkan, industri pupuk paling memiliki multiplier effect. Oleh karenanya jika kebijakan ini dihentikan harga pupuk dipastikan akan melambung.
“Sebaiknya program seperti ini harus lebih difokuskan ke industri yang berdampak pada hajat hidup orang banyak seperti pupuk,” sebut Candra.
Berdasarkan data pemerintah pada tahun 2022, komponen biaya gas dalam biaya produksi bervariasi. Paling tinggi adalah industri pupuk di mana komponen biaya gas mencapai 58,48%, kemudian kaca 24,84%, keramik 17,87%, oleochemical 8,96% dan petrokimia sekitar 7,72%. Adapun kontribusi biaya gas di industri baja sekitar 7,26% dan yang paling rendah industri sarung tangan sebesar 5,90%.
Sebelumnya Founder & Advisor Reforminer Institute, Lembaga Riset Pertambangan dan Ekonomi Energi, Pri Agung Rahmanto mengatakan evaluasi terhadap kebijakan harga gas bumi tertentu alias HGBT tidak akan berdampak terhadap daya saing industri dalam negeri. Selain komponen gas bumi kontribusinya rendah, daya saing sebuah industri dipengaruhi oleh banyak aspek.
“Ada banyak faktor yang memengaruhi daya saing sebuah industri. Seperti permintaan pasar, sumber daya, strategi industri dan juga keterkaitannya dengan industri pendukung dalam mata rantai industri tersebut. Harga gas hanya salah satu aspek dari sumberdaya, khususnya aspek biaya,” imbuh Pri Agung.
Argumen Pri Agung tersebut sejalan dengan Purchasing Managers’ Index™ (PMI) Manufaktur Indonesia yang diterbitkan oleh S&P Global. Dalam rilisnya pada 1 Februari 2024, menyatakan bahwa sektor manufaktur Indonesia berekspansi pada laju lebih cepat pada awal bulan tahun 2024.
S&P Global menyatakan bahwa pertumbuhan sektor manufaktur mengalami percepatan, didukung oleh kenaikan lebih cepat pada permintaan baru karena kondisi permintaan secara keseluruhan membaik dan basis pelanggan naik. Permintaan asing juga membaik, namun kecepatan pertumbuhan permintaan ekspor masih marginal.
Hal ini mendorong kenaikan aktivitas pembelian dan persediaan inventaris input, meski upaya perekrutan terbatas. Keseluruhan kepercayaan diri bisnis bertahan positif, sementara tekanan inflasi berkurang pada bulan Januari. PMI Manufaktur Indonesia naik ke posisi 52,9 pada bulan Januari dari 52,2 pada bulan Desember 2023.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)