Penurunan Utang Luar Negeri Bukan Selalu Sinyal Positif
Ekonom Indef Nailul Huda mengungkapkan penurunan ULN Indonesia tidak berarti bisa dimaknai positif. BI, kata Nailul mengatakan bahwa penurunan ULN pemerintah salah satunya disebabkan oleh investor asing yang menarik portofolionya dari Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan oleh pemerintah.
Dengan begitu, katanya, bisa dikatakan bahwa investor asing, utamanya, tidak sepenuhnya percaya dengan pengelolaan utang yang dilakukan oleh pemerintah.
“Investor itu yang penting kan cuan (uang), ketika investor mencari keuntungan yang diinginkan mereka pasti mencari instrumen yang dia lebih cuan bagi mereka. Ketika suku bunga BI meningkat kemudian The Fed rate tidak turun, otomatis sebenarnya pasar SBN tidak menjadi menarik bagi para investor, terlebih ketika SBN (pemerintah Indonesia) oleh lembaga pemeringkat utang seperti Fitch Rating misalnya turun," ujarnya.
"Jadi bisa kita lihat investor dan juga lembaga pemeringkat utang itu dia menurunkan nilai dari kemampuan pemerintah dalam mengelola utangnya. Makanya si investor akan berpikir ulang untuk menempatkan uangnya di SBN,” ungkap Nailul.
Penurunan ULN swasta, ungkap Nailul, juga menjadi pertanyaan. Pasalnya, berbeda dengan pemerintah, sektor swasta ketika berhutang biasanya akan melakukan dua hal utama yakni ekspansi dan investasi. Dia menduga bahwa penurunan utang dari swasta disebabkan oleh keadaan bisnis yang saat ini tidak terlalu baik.
“Memang bisa dibilang kalau swasta mau ekspansi dia membutuhkan modal, ketika ada banyak investor luar yang ingin berinvestasi di sektor swasta di Indonesia itu pasti menunjukkan dunia usaha di dalam negeri baik. Jadi istilahnya swasta digenjot utang untuk bisa berekspansi,” jelasnya.
Senada dengan Nailul, Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan, ketidakpastian global, terutama situasi geopolitik di Timur Tengah yang belum mereda, mengakibatkan investor asing cenderung mencari aset yang aman dalam berinvestasi.
“Tetapi kalau kita lihat situasinya, suku bunga global masih relatif tinggi sehingga pada saat tensi geopolitiknya masih dominan dan suku bunga masih relatif tinggi, memang ada kecenderungan investor asing akan shifting ke safe haven asset terutama USD. Makanya kepemilikan investor asing di obligasi pemerintah itu dikategorikan sebagai utang,” ungkap Josua dilansir VOA Indonesia.
Sama halnya dengan sektor swasta. Menurutnya, penurunan ULN di sektor swasta mencerminkan belum adanya ekspansi atau investasi yang cenderung agresif dikarenakan masih tingginya suku bunga global, dan situasi perekonomian yang masih dilanda ketidakpastian.
Secara keseluruhan, ungkap Josua, rasio ULN yang menurun ini perlu diperhatikan ke depannya oleh pemerintah. Dia mengatakan, nantinya pemerintah harus mencari sumber pembiayaan lain untuk bisa mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi.
“Kalau misalkan kita bisa mendapatkan pembiayaan untuk menutupi APBN untuk belanja pemerintah bisa dipenuhi dengan pajak, artinya kita tidak perlu menerbitkan lagi global bond sehingga tidak tercatat, dan rasio ULN bisa turun lagi, dan itu sebenarnya bagus,” jelasnya.
Namun, ketika nantinya pemerintah dihadapkan dengan kondisi belanja yang cenderung agresif namun penerimaan pajak masih terbatas, berarti pemerintah harus tetap menerbitkan utang.
Menurutnya, jika kelak pemerintah ingin berhutang lagi, maka harus diperhatikan struktur utang tersebut. Pemerintah, kata Josua, harus bisa mengelola utang tersebut dengan baik, karena jika tidak prudent maka akan berpengaruh terhadap pengelolaan APBN dan jalannya pembangunan di Tanah Air.
(Dani Jumadil Akhir)