COVID-19 telah menghambat kemajuan negara tersebut. Angka inflasi yang mengkhawatirkan di Laos menjadi tanda terbaru dari badai finansial yang terus menerpa ekonomi negara yang terjerat utang ini. Meskipun sebelumnya Laos menikmati pertumbuhan PDB tahunan sebesar 6-7% selama sebagian besar dekade sebelum pandemi COVID-19, dampak virus tersebut sangat menghancurkan bagi perekonomian negara kecil ini.
Seorang peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS) Erin Murphy menjelaskan bahwa ekonomi Laos yang kecil membuatnya sangat rentan terhadap guncangan. Pandemi COVID-19 telah merusak upaya pertumbuhan yang ada. Sebagai negara yang terkurung daratan dengan populasi 7 juta jiwa, Laos sangat bergantung pada impor dan ekspor dengan mitra dagang di Asia. Gangguan rantai pasokan dan lonjakan harga makanan serta bahan bakar akibat pandemi telah memberikan tekanan inflasi yang signifikan.
Sementara itu, Manajer Negara Bank Dunia untuk Laos Alex Kremer mengungkapkan bahwa situasi ini semakin diperburuk oleh berbagai faktor, termasuk perang di Ukraina. Banyak warga Laos yang terpaksa melewatkan makan untuk menghadapi situasi yang di luar kendali mereka. Meskipun masyarakat berusaha kembali ke kehidupan normal, mereka menghadapi banyak kesulitan dan banyak yang membutuhkan bantuan.
Krisis ini menyoroti tantangan serius yang dihadapi Laos, di mana inflasi yang terus meningkat mengancam kesejahteraan masyarakat dan mempersulit pemulihan ekonomi pascapandemi.
Jerat utang China
Salah satu faktor yang semakin memperparah krisis di Laos adalah keputusan negara ini untuk terjebak dalam utang besar demi membiayai proyek infrastruktur berskala besar.
"Laos kini berada di bawah pengaruh rencana ekonomi China, baik itu terkait koneksi kereta api maupun pembangkit listrik tenaga air yang bisa diproduksi Laos," ungkap Erin Murphy.
Dalam beberapa tahun terakhir, Laos telah menempatkan dirinya di pusat integrasi perdagangan, ekonomi, dan infrastruktur yang berkembang di subregion Mekong. Bendungan-bendungan di Laos menyuplai listrik untuk negara-negara tetangga yang lebih padat penduduknya, sementara jaringan jalan dan rel yang terus berkembang dapat menghubungkan ekonomi yang sedang tumbuh di kawasan tersebut.
Dengan melakukan proyek-proyek senilai lebih dari USD16 miliar atau sekitar Rp260.422.400.000.000 (kurs Rp16.274 per USD), China kini menjadi salah satu investor asing terbesar di Laos. Proyek besar terbaru adalah jalur kereta China-Laos senilai USD5,9 miliar atau sekitar Rp96.031.940.000.000 (kurs Rp16.274 per USD) yang menghubungkan Vientiane dengan perbatasan China, yang merupakan bagian penting dari inisiatif infrastruktur besar-besaran Belt and Road yang dipimpin Beijing.