Namun, para kritikus memperingatkan bahwa negara-negara miskin seperti Laos berisiko terjebak dalam "jerat utang" China, di mana investor China dapat menguasai aset-aset penting nasional jika negara debitur tidak mampu membayar utangnya. Menurut AidData Lab, total utang publik Laos kepada China mencapai sekitar USD12,2 miliar atau sekitar Rp198.571.470.000.000 (kurs Rp16.274 per USD), jauh lebih tinggi daripada perkiraan Bank Dunia.
Hingga saat ini, Beijing cenderung diam terkait masalah utang Laos. Kedutaan China di Vientiane belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar mengenai situasi ini. Krisis utang yang melanda Laos menunjukkan betapa rentannya negara ini terhadap pengaruh ekonomi asing dan tantangan yang harus dihadapi untuk mencapai kemandirian ekonomi.
Terlalu banyak yang dipertaruhkan bagi China.
"Laos menghadapi kesulitan ekonomi dan finansial yang sangat besar dan mengkhawatirkan, namun saya rasa China tidak akan membiarkan Laos gagal bayar," ujar Profesor di Sekolah Pascasarjana Kebijakan Publik Universitas Tokyo Toshiro Noshizawa.
Meskipun besarnya kewajiban utang tampak menunjukkan bahwa gagal bayar tidak terhindarkan, faktor geoekonomi membuat prediksi sederhana semacam itu tidak realistis, tambahnya. Sejak 2013, China telah menginvestasikan lebih dari USD800 miliar atau sekitar Rp13.010.400.000.000.000 (kurs Rp16.274 per USD) dalam inisiatif Belt and Road, dengan Laos sebagai sekutu kunci untuk membangun hubungan ekonomi yang lebih kuat di Asia Tenggara.
Dalam konteks ini, gagal bayar utang Laos dapat merusak reputasi China sebagai mitra di dunia yang sedang berkembang, terutama di kawasan ini. "China memiliki banyak kepentingan, baik secara diplomatik maupun ekonomi. Saya percaya mereka akan bersedia campur tangan karena dalam skema yang lebih besar, meskipun Laos memiliki utang yang banyak, jumlahnya tidak sebesar negara lain," tegas Murphy.
Krisis utang Laos ini menyoroti betapa rentannya negara ini terhadap pengaruh luar dan tantangan yang dihadapi dalam upaya mencapai kemandirian ekonomi. Dengan ketidakpastian yang melanda, perhatian kini tertuju pada bagaimana Laos dapat mengelola utangnya dan bagaimana China akan berperan dalam situasi ini.
Upaya Laos dalam menyeimbangkan kekuatan
Dengan cengkeraman Beijing yang semakin kuat dan inflasi yang kian memburuk, Laos kini terjebak dalam dilema sulit antara kekuatan-kekuatan besar. Meskipun China adalah mitra ekonomi utama, Laos memiliki rekam jejak yang mengesankan dalam menyeimbangkan kepentingan berbagai mitra diplomatik.
Jepang telah lama menjadi donor bantuan bilateral terbesar bagi Laos, sementara Vietnam tetap dianggap sebagai mitra keamanan terpenting negara ini. Meski menghadapi masalah ekonomi, Vientiane sejauh ini menghindari pembicaraan dengan kreditor internasional mengenai renegosiasi utang. Selama pandemi COVID-19, Laos memilih untuk meminjam uang baru dari Beijing ketimbang mencari pinjaman dari lembaga multilateral.
Erin Murphy menekankan bahwa Laos seharusnya "dapat mendapatkan manfaat dari semua pihak sambil mengatasi masalah utangnya." Namun, dalam skenario terburuk, jika mitra diplomatik lainnya merasa posisinya terancam oleh pengaruh China, krisis ekonomi Laos bisa berubah menjadi isu geopolitik yang lebih besar.
Krisis ini menunjukkan betapa rumitnya posisi Laos di tengah persaingan kekuatan besar, dan bagaimana negara kecil ini berusaha bertahan di tengah tekanan yang terus meningkat.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)