Ia menjelaskan, dalam perkara perdata tersebut, pihak Bukalapak dituding ingkar atas isi dalam letter of intent, di mana emiten BUKA wajib membayarkan uang senilai ratusan miliar Rupiah, karena kontrak yang tidak akan terjadi dengan Harmas, karena adanya penyelesaian dalam pengerjaan gedung di One Belpark Office , sesuai dengan waktu yang ditentukan.
Namun pada kenyataannya, Ranto mengungkapkan, pihak Harmas menyelesaikan pengerjaan gedung lewat dari kesepakatan waktu yang ditentukan. Sehingga dalam hal ini, Bukalapak mendesak pihak Harmas mengganti sejumlah uang muka yang telah disetorkan ke Bukalapak sebesar Rp6 miliar lebih.
"Tapi kami malah digugat karena dianggap tidak sesuai dengan LOI, dan membatalkan kesepakatan secara sepihak. Padahal kan mereka yang melakukan wanprestasi, karena pengerjaan gedung tidak selesai sesuai dengan waktu yang disepakati. Harusnya di sini Bukalapak yang dirugikan. Makanya dihilangkan PK," jelas Ranto.
Di sisi lain, ia juga menyebut, permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Pengadilan Niaga baru bisa dilaksanakan jika ada batas waktu pembayaran utang yang telah jatuh tempo.
“Sementara karena masih berjalannya proses PK di Pengadilan Perdata, belum ada sesuatu yang bisa disebut sebagai utang. Bagaimana mau memproses PKPU-nya?,” tegas Ranto.
Pada gugatan pailit, Ranto juga mempersoalkan keterlibatan pihak Dirjen Pajak sebagai kreditur, yang merupakan syarat untuk memperkuat adanya utang antara pihak yang bertikai yang telah jatuh tempo.
Menurut Ranto hal tersebut tidak tepat, karena Bukalapak adalah perusahaan yang berjalan dengan baik dan tidak pernah memiliki tagihan ataupun masalah dengan pajak.
“Kalau soal pajak itu sudah menjadi kewajiban, semua perusahaan harus membayarkan pajak. Tapi bukan utang pajak yang harus membayar karena sudah jatuh tempo dan dapat ditagihkan, dan Bukalapak bukan perusahaan yang bermasalah dengan pajak,” tutupnya.
(Taufik Fajar)