Ferdy berharap kepada pemerintah untuk mencari cara yang lebih kreatif untuk meningkatkan penerimaan negara. Bukan sekedar menaikan tarif dan justru bisa berdampak pada keberlangsungan industri di dalam negeri.
"Kita berharap pemerintah bisa memperhatikan baik baik dinamika di sektor industri ini, jangan hanya mengambil kebijakan yang gampangan, begitu keuangan negara turun, langsung ambil menaikkan royalti tanpa memperhatikan dinamika industri," tambahnya.
Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan rencana kenaikan tarif royalti tambang bisa membuat perusahaan tambang menghitung ulang untuk melanjutkan produksinya.
Meidy menilai, saat ini harga komoditas khususnya nikel di pasar global juga belum mengalami kenaikan, bahkan cenderung mengalami penurunan sejak tahun 2024. Hal ini yang menurutnya belum mampu untuk mengakomodir kenaikan beban usaha imbas kebijakan baru pemerintah di tahun 2025.
Meidy menjelaskan, kenaikan tarif royalti bukan satu-satunya beban tambahan yang dialami para pengusaha mulai tahun 2025. Sebab bersamaan, pemerintah juga menetapkan kenaikan tarif PPN menjadi 12%, yang mana alat berat tambang masuk kategori barang mewah.
Belum lagi menurutnya kebijakan baru pemerintah soal DHE (Devisa Hasil Ekspor) SDA (Sumber Daya Alam). Sehingga pengusaha wajib menyetorkan seluruh pendapatannya ke instrumen keuangan Indonesia selama 12 bulan. Selain itu ada juga kebijakan soal global minimum tax (GMT) yang naik menjadi 15%, sehingga pelaku usaha yang berorientasi ekspor perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar pajak.
"Kalau kami dibebankan lagi (kenaikan royalti tambang) tentu perusahaan akan berfikir, akan melanjutkan produksi atau ini. Ini tentu menjadi kendala kita," pungkasnya.
(Taufik Fajar)