JAKARTA - Bank Indonesia (BI) ungkap alasan mengapa memproyeksikan pertumbuhan kredit perbankan nasional tahun ini berada di kisaran 8 persen hingga 11 persen. Tercatat, Pertumbuhan kredit perbankan di Indonesia pada April 2025 tercatat sebesar 8,88 persen (year-on-year/yoy), sedikit melambat dibandingkan bulan Maret 2025 yang mencapai 9,16 persen (yoy).
Deputi Gubernur BI, Juda Agung menjelaskan, proyeksi ini mempertimbangkan berbagai dinamika, baik dari sisi permintaan (demand) maupun penawaran (supply) kredit di sektor perbankan.
Menurut Juda, pertumbuhan kredit yang melambat dalam dua bulan terakhir disebabkan oleh faktor permintaan yang masih lemah dari sektor riil.
“Kami melihat bahwa memang penurunan pertumbuhan kredit ini lebih banyak disebabkan oleh lemahnya demand,” ujar Juda dalam konferensi pers RDG BI, Rabu (21/5/2025).
Namun demikian, BI juga mencermati adanya tantangan dari sisi penawaran, terutama terkait keterbatasan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) yang menjadi sumber utama pembiayaan bank. "Ada bank-bank tertentu yang pendanaannya di dalam negeri sudah mulai terbatas,” tambahnya.
Untuk mengatasi keterbatasan dana dan tetap menjaga likuiditas perbankan, BI telah melonggarkan sejumlah kebijakan makroprudensial guna membuka ruang pendanaan tambahan, termasuk dari luar negeri.
Salah satunya adalah peningkatan batas Rasio Pinjaman Luar Negeri (RPLN) dari 30 persen menjadi 35 persen terhadap modal bank. Kebijakan ini memungkinkan bank untuk memperoleh pembiayaan eksternal secara lebih leluasa.
Selain itu, BI juga melonggarkan ketentuan Pinjaman Likuiditas Makroprudensial (PLM). Untuk Bank Umum Konvensional, kewajiban surat berharga terhadap DPK diturunkan dari 5 persen menjadi 4 persen.
Sementara untuk Bank Umum Syariah, diturunkan dari 3,5 persen menjadi 2,5 persen. Pelonggaran ini diharapkan memberi fleksibilitas lebih besar dalam pengelolaan likuiditas bank.
Di sisi permintaan, penurunan suku bunga acuan BI (BI Rate) diharapkan dapat mendorong penurunan suku bunga kredit perbankan, sehingga memicu minat pinjaman dari sektor korporasi dan rumah tangga.
“Dengan biaya pinjaman yang lebih murah, diharapkan permintaan kredit akan kembali meningkat,” jelas Juda.
Secara keseluruhan, BI menilai bahwa pertumbuhan kredit akan sangat bergantung pada interaksi antara pemulihan permintaan kredit dan tersedianya suplai dana yang memadai.
(Dani Jumadil Akhir)