Sebagai gantinya, pemerintah memilih mengalihkan anggaran ke program BSU yang dinilai lebih siap dari sisi data dan eksekusi. Menurutnya, pemberian subsidi upah sudah sempat dilakukan pada saat era pandemi covid-19. Pengalaman ini yang dianggap akan membuat penyaluran insentif ke masyarakat lebih cepat ketimbang mengatur pemberian diskon listrik.
"Sehingga yang itu (diskon listrik) digantikan menjadi bantuan subsidi upah. Karena waktu itu bantuan subsidi upah pernah dilakukan pada masa covid-19," tambahnya.
Target sasaran penerima bantuan subsidi upah ini akan menyasar kepada pekerja formal yang memiliki gaji di bawah Rp3,5 juta dan tercatat sebagai kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Penyaluran bantuan subsidi upah tersebut akan mengacu pada data dari BPJS Ketenagakerjaan yang dinilai lebih akurat. Berbeda dari skema sebelumnya yang menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) saat pandemi covid-19.
"Sekarang karena BPJS Ketenagakerjaan datanya sudah clean untuk betul-betul pekerja yang di bawah Rp3,5 juta dan sudah siap. Maka, kami memutuskan dengan kesiapan data dan kecepatan program untuk menargetkan (mengalokasikan ke) bantuan subsidi upah," pungkasnya.
3. Kementerian ESDM Buka Suara
Juru Bicara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dwi Anggia menyampaikan bahwa inisiatif kebijakan dan pembatalan pemberian diskon tarif listrik sebesar 50 persen tidak datang dari Kementerian ESDM.
"Dalam hal ini, karena inisiatif kebijakan dan pembatalan tidak berasal dari kami, maka kami menghormati sepenuhnya kewenangan K/L yang menyampaikan dan membatalkannya,” ucap Dwi.
Dwi juga menegaskan bahwa Kementerian ESDM tidak terlibat dalam proses perumusan maupun pembahasan kebijakan diskon tarif listrik untuk Juni-Juli 2025. Dia mengungkapkan bahwa sejak awal memang belum ada permintaan resmi atau undangan untuk memberikan masukan dalam proses tersebut.
“Kementerian ESDM tidak berada dalam tim atau forum apapun yang membahas kebijakan diskon tarif listrik pada periode Juni dan Juli 2025,” ucapnya.