Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Waspada Gagal Bayar Paylater, Utang Makin Numpuk

Rahma Anhar , Jurnalis-Senin, 21 Juli 2025 |06:10 WIB
Waspada Gagal Bayar <i>Paylater</i>, Utang Makin Numpuk
Waspada Gagal Bayar {Paylater}, Utang Makin Numpuk (Foto: Freepik)
A
A
A

JAKARTA - Bank Indonesia (BI) akan memperkuat kebijakan pengelolaan risiko pada sistem pembayaran menggunakan paylater. Hal ini untuk mencegah risiko gagal bayar paylater.

Dalam kerangka manajemen risiko, diatur bahwa total liabilitas (kewajiban) nasabah idealnya tidak melebihi 30% dari penghasilan bulanan. Jika seseorang telah memiliki kewajiban seperti KPR yang menghabiskan lebih dari 40% dari pendapatan, maka pengajuan fasilitas kredit tambahan seperti kartu kredit akan otomatis ditolak.

"Jadi artinya risk management (kartu kredit) sudah langsung terukur. Paylater tidak ada. Yang ada dikasih plafon Rp1 juta hingga Rp3 juta. Begitu plafon itu bisa dipakai, ya mereka cuma nembak saja dari sisi mutasi. Kalau bank-bank tiap hari misalnya dalam 1 bulan Rp1 juta, saya kasih plafon tiga kali dari Rp1 juta, Rp3 juta," ujar Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP) BI Dudi Dermawan, Kamis (18/7/2025).

BI menilai histori mutasi rekening tanpa memperhitungkan rasio utang terhadap penghasilan tidak tepat. Pasalnya, kemungkinan terjadi kredit macet sangat tinggi.

“Kalau mutasi bulanan seseorang Rp1 juta, mereka langsung dikasih plafon tiga kali lipat, yaitu Rp3 juta. Tapi kalau Rp3 juta itu sudah 50% dari kewajiban, artinya risiko gagal bayarnya tinggi,” ujarnya.

Menurutnya, BI pernah juga mengatur manajemen risiko pada kartu kredit. Ketika itu, BI menurunkan suku bunga kartu kredit dari 2,9% per bulan menjadi 1,94%.

"Itu saya dimarah-marahin sama bank. Saya bilang, kita buktikan bahwa dengan 1,9%, Anda akan balik untung. Pada saat Covid, itu yang namanya kelas menengah hanya punya kartu kredit. Saya ingat yang saya lakukan adalah menurunkan suku bunga kartu kredit, menurunkan minimum pembayaran dari 10% menjadi 5%, menurunkan denda keterlambatan dengan maksimal hanya Rp50.000. Ternyata langsung meningkatkan, atau penggunaan kartu kredit langsung meningkat," ujarnya.

 



Berkaca dari kejadian tersebut, BI menyampaikan bahwa semua kebijakan diarahkan untuk menciptakan sistem pembayaran yang sehat, aman, dan mendukung keberlanjutan keuangan masyarakat. Jadi BI melarang dengan tegas penggunaan paylater sebagai underlying transaksi QRIS. Jika sebuah perusahaan Penyelenggara Jasa Pembayaran (PJP) terbukti menggunakan skema ini, BI akan menjatuhkan dua sanksi berat.

Pertama, penghentian model bisnis yang bersangkutan. Kedua, larangan penambahan nasabah baru. “Beberapa PJP sudah kita hentikan operasinya karena melanggar ketentuan ini. Pengawasan dilakukan ketat oleh tim DSPK,” jelasnya.

Meski demikian, BI tetap membedakan kasus paylater murni seperti yang dilakukan oleh Gopay tanpa QRIS, yang merupakan ranah pengawasan OJK. Misalnya, jika pengguna Gopay melakukan transaksi Rp100.000 tetapi hanya memiliki saldo Rp50.000, maka sisanya bisa ditutupi dengan fasilitas paylater. Praktik ini masih diperbolehkan karena sesuai regulasi.

Sementara, dalam data OJK menyebutkan pembiayaan paylater meningkat menjadi Rp8,24 triliun pada April 2025. Angka tersebut melonjak 47,11 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), naik lebih tinggi dibandingkan total pembiayaan paylater atau Buy Now Pay Later (BNPL) pada Maret 2025 yang tercatat sebesar Rp8,22 triliun dan tumbuh 39,28 persen yoy.

Baca selengkapnya: Risiko Gagal Bayar Tinggi, Aturan Paylater Diperketat

(Dani Jumadil Akhir)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement