JAKARTA – Inflasi Indonesia secara umum masih lebih tinggi dibandingkan negara lain, khususnya anggota ASEAN 5, yaitu Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura, yang pada tahun 2015 masing-masing mencapai 2,7 persen, 1,5 persen, -0,85 persen, dan -0,6 persen.
Oleh sebab itu, diperlukan langkah-langkah agar kesenjangan inflasi tersebut dapat dikurangi sehingga Indonesia dapat lebih memiliki daya saing di ASEAN. ”Kita perlu mewaspadai peningkatan tekanan inflasi dari komoditas tanaman pangan, terutama beras, cabai merah, bawang merah, bawang putih, daging ayam ras, dan daging sapi,” kata Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo usai acara Apresiasi Kinerja Program Pengendalian Inflasi Bank Indonesia di Jakarta kemarin.
Secara umum, komoditas volatil foods merupakan penyumbang utama inflasi. Terlihat dari inflasi pada Maret 2016, inflasi Indek Harga konsumen (IHK) di Maret 2016 tercatat sebesar 0,19 persen (mtm), lebih tinggi dibandingkan dengan Februari 2016 sebesar - 0,09 persen. Menurut Agus, angka tersebut lebih tinggi selama 6 tahun terakhir sekitar 0,05 persen. ”Merespons tingginya inflasi komoditas volatile foods, BI menginisiasi beberapa program pengendalian inflasi, di antaranya pengembangkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) yang berfungsi sebagai media untuk transparansi harga bahan pangan,” papar dia.
Dengan adanya PIHPS ini, maka diharapkan dapat menciptakan konvergensi harga sehingga dapat mengurangi gejolak harga. Agus menambahkan, tantangan inflasi di Indonesia ke depan ialah volatile food. ”Jadi, ini yang perlu dilakukan koordinasi agar betul terjaga, ini betul-betul mengajak seluruh masyarakat Indonesia agar harga pangan bergejolak tidak menjadi ancaman inflasi,” tegas dia.
Maka dari itu, BI juga mengimplementasikan Program Pengendalian Inflasi melalui pengembangan kluster yang dilaksanakan oleh seluruh Kantor Perwakilan BI. Agus berharap, kehadiran kluster ini dapat meningkatkan produktivitas komoditas bahan makanan penyumbang inflasi.
(Fakhri Rezy)