SERANG - Pemerintah diminta mewaspadai dampak melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, karena bisa berimbas pada ancaman pemutusan hubungan kerja di perusahaan-perusahaan.
Pengamat Ekonomi dari Universitas Negeri Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Dahnil Anzar mengatakan, otoritas fiskal khususnya, yakni pemerintah tidak bisa "anggap enteng" dengan konstelasi rupiah saat ini, karena akan berimbas pada ancaman PHK, mengingat pabrik-pabrik tidak mampu lagi berproduksi. Sebab, lebih dari 75 persen bahan baku industri domestik Indonesia bergantung dengan impor.
"Pelemahan rupiah menyebabkan pukulan luar biasa bagi industri dalam negeri. Bahkan untuk mendorong ekspor pun sulit, padahal pelemahan rupiah bisa menjadi kesempatan baik untuk ekspansi ekspor," kata Dahnil.
Akan tetapi, kata Dahnil, mendorong untuk ekspor juga sulit mengingat produk-produk ekspor juga bergantung bahan baku dengan impor. Belum lagi harga komoditas seperti CPO mengalami penurunan drastis.
Di sisi lain, kata dia, aturan pelarangan impor mineral mentah juga menjadi hambatan ekspansi ekspor. Selain itu, kebijakan substitusi impor tidak pernah dimulai oleh pemerintah untuk menghindari terulang kondisi pelemahan rupiah seperti saat ini yang berdampak pada industri dalam negeri.
"Otoritas fiskal yakni pemerintah harus segera mendesain kebijakan jangka panjang berkaitan dengan kebergantungan Indonesia terhadap impor. Substitusi impor melalui penguatan sektor pertanian dan industri lokal yang berbasis bahan baku lokal harus dimulai untuk kepentingan jangka panjang," kata Pengamat Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untirta tersebut.
Menurut dia, sementara ini dalam jangka pendek harapannya hanya bisa bertumpu kepada otoritas moneter untuk mengendalikan pelemahan rupiah yang terus berlanjut, juga berharap pada faktor eksternal seperti devaluasi yuan dan suku bunga The Fed.