JAKARTA - Ide brilian Presiden China Xi Jinping untuk merajut kawasan ekonomi melalui konsep satu ikatan dan satu jalan atau one belt one road (OBOR) bakal menghadapi tantangan.
Tantangan tersebut bukan datang dari negara-negara yang ada dalam peta OBOR yang membentang dari Eropa, Afrika, hingga Asia.
Tantangan sebenarnya berasal dari negara-negara maju yang beberapa dasawarsa sebelumnya menjadi pemimpin ekonomi global.
Sebagai inisiator OBOR, China mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat fantastis di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi global.
Namun, bukan berarti situasi tersebut akan selamanya menguntungkan negara berpenduduk terbesar di dunia itu. Apalagi jika Amerika Serikat (AS) benar-benar menutup pintu bagi masuknya komoditas asing.
Terus melemahnya nilai tukar yuan RMB terhadap dolar AS telah dicurigai oleh Presiden AS Donald Trump sebagai salah satu cara untuk memperlancar arus barang masuk ke negara adidaya tersebut.
Kecurigaan Trump itu diikuti dengan keluarnya daftar nama negara, termasuk di dalamnya ada China dan Indonesia, yang dianggap berkontribusi atas melambatnya pertumbuhan ekonomi AS.
AS telah menjadi negara utama tujuan ekspor China. Bahkan, pangsa pasar ekspor China ke AS mencapai 18,30% atau tertinggi dibandingkan dengan negara-negara lain.