JAKARTA - Biaya transaksi tol diyakini bisa lebih murah menggunakan uang elektronik ketimbang tunai. Namun, menyusul keputusan Bank Indonesia (BI) dalam menetapkan tarif maksimum pengisian saldo (top up) uang elektronik jadinya terkesan bertolak belakang.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan munculnya ketetapan BI yang tertera dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/10/PADG/2017 tanggal 20 September 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway (PADG GPN) tak sejalan dengan keinginan pemerintah menggalakan cashless society.
"Misalnya menggunakan e-toll yang non cash itu seharusnya diberikan insentif bukan diberikan beban biaya baru," kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi ditemui di kantornya, Jumat (22/9/2017).
Baca Juga: Bank BUMN Kompak Tolak Aturan Biaya Isi Ulang Uang Elektronik
Kata dia, di beberapa negara sudah terbukti bahwa dengan menggunakan e-toll atau kartu uang elektronik bisa menekan biaya penggunaan tol. "Di banyak negara yang menggunakan e-toll,
ini tarif tol-nya bisa turun, kenapa? Karena pengelola tol itu sangat terbantu dengan transaksi non cash," paparnya.
"Saya diskusi dengan Jasa Marga, setiap hari dia pusing menyiapkan yang recehan untuk pengembalian Rp500 dan Rp100 karena apa, mayoritas kita membayar tol pasti tidak dengan uang pas," contohnya.
Baca Juga: Perbanas Pertanyakan Wacana Pemungutan Biaya Isi Ulang Uang Elektronik
Dengan penggunaan uang elektronik di tol, BI juga dianggapnya terbantu. Jika tiap kali transaksi tol pengelola tol harus menyiapkan uang receh untuk kembalian maka BI perlu lebih banyak mencetak uang receh atau logam. Sayangnya biaya pencetakan uang logam lebih mahal ketimbang nilai uangnya.
"Biaya cetaknya lebih mahal biaya cetak uang atau produksi uang sehingga ketika masyarakat sudah terbiasa dengan cash less ini maka biaya cetak uang jadi turun. Nah biaya itu bisa dikonversikan untuk BI membeli atau merawat infrastruktur yang ada dari situ," tandasnya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)