TANGERANG SELATAN - Eksplorasi minyak dan gas (Migas) di banyak wilayah belum sepenuhnya berjalan seiring dengan keinginan pemerintah pusat. Hal itu disebabkan terhambatnya proses perizinan sebagaimana diterapkan di daerah tersebut.
Kondisi demikian, membuat iklim investasi sektor migas menjadi terganggu. Padahal, percepatan perizinan di tingkat hulu dapat meningkatkan pemasukan kas negara dan daerah atas kekayaan sumber daya alamnya.
Pengamat dari Forum Kajian Energi Mashuri, mengatakan investasi migas membutuhkan adanya kepastian hukum, baik di pusat hingga daerah. Masalahnya, kata dia, selama ini masih ada sejumlah kendala di daerah yang belum sejalan dengan keinginan percepatan itu.
"Kendala pertama itu daerah, kedua sinkronisasi kebijakan, dan yang ketiga pengawalan kebijakan," katanya kepada Okezone usai diskusi 'Dampak Percepatan Perijinan Hulu Migas Bagi Peningkatan Investasi Migas' di Saung Serpong, Tangerang Selatan, Jumat (2/11/2018).
Baca Juga: Peran Penting Industri Perkapalan Topang Sektor Migas
Dijelaskannya, kendala di daerah itu terjadi lantaran adanya kebijakan pusat yang tak bisa dipraktekkan dengan kebijakan di daerah. Dicontohkannya seperti yang terjadi pada kasus blok Mahakam, dimana eksplorasi belum terlaksana akibat rumitnya regulasi di daerah.
"Banyak sekali kebijakan pusat itu bagus, tapi di daerah tak bisa berjalan karena raja-raja (Kepala daerah) di daerah ini sangat luar biasa (aturannya), misalnya di Sumatera, Sulawesi, investasinya tak bisa maksimal. Misalnya blok-blok migas seperti di blok Mahakam," ungkap Mashuri.
Lalu kendala kedua adalah sinkronisasi kebijakan, dia mencontohkan bahwa regulasi percepatan yang ditetapkan pemerintah pusat tak bisa berjalan di daerah, karena tak sinkron dengan aturan di masing-masing daerah.
"Misalnya kebijakan sudah dikeluarkan oleh Kementerian ESDM, tapi di daerah dengan alasan mungkin ingin menambah pendapatan daerah, lalu dia (kepala daerah) membuat Perda-Perda yang kontra produktif, menghambat investasi secara nasional. Ini yang jadi hambatan," paparnya.
Lalu terakhir, kendala tak adanya pengawalan kebijakan pusat oleh kepala daerah. Harusnya yang terjadi adalah, aturan di daerah menyesuaikan dengan keinginan percepatan perizinan eksplorasi dari pemerintah pusat.
"Ini yang dikeluhkan para pengusaha migas. Tak benar-benar total mengawal kebijakan dari pusat itu," sebutnya lagi.
Baca Juga: Lelang Blok Migas, Indonesia Dapat Bonus Tanda Tangan USD5,5 Juta
Menjawab problem itu, Mashuri mendesak agar pemerintahan Jokowi melakukan terobosan pada 3 hal, yakni melalui revisi Undang-Undang Migas yang lebih tepat dan tegas soal penyederhanaanya di daerah.
Berikutnya, Presiden Jokowi juga harus memberikan arahan kepada pemerintah daerah agar berkomitmen mempermudah izin. Terakhir, pemerintah pusat harus membagi kompensasi bagi hasil yang jelas kepada pemerintahan daerah terkait kegiatan eksplorasi itu.
"Tiga hal itu yang mesti dilakukan pemerintah pusat," tukasnya.
Dalam diskusi itu, Ketua Pos Perjuangan Rakyat (Pospera) Banten, Akhmad Yuslizar, ikut menyikapi adanya hambatan perizinan eksplorasi di sejumlah daerah. Menurut Yuslizar, praktik tersebut adalah gaya tak cerdas yang justru melenyapkan peluang investasi terhadap blok eksplorasi baru.
"Karena rumitnya perizinan itu, para investor banyak mengeluh. Bayangkan mereka sudah menghabiskan hampir 1 triliun sebelum eksplorasi dimulai, karena bertumpuknya perizinan di daerah. Kita harus sadar, bahwa negara kita bukan lagi penghasil migas, kita sudah impor. Cadangan kita hanya tinggal 3,3 miliar barel, itu akan habis dalam 10 tahun. Sehingga kita memang butuh area eksplorasi yang baru," ujar Yuslizar.
(Feb)
(Rani Hardjanti)