Nilai tukar Rupiah pada awal tahun dimulai pada level Rp14.382/USD. Bank Indonesia (BI) mencatat nilai tukar Rupiah menguat sebesar 2,90% di sepanjang tahun 2019 (year to date/ytd). Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, penguatan Rupiah tersebut didukung oleh masuknya pasokan valas dari para eksportir.
"Juga didorong aliran masuk modal asing yang tetap berlanjut sejalan prospek ekonomi Indonesia yang tetap terjaga, daya tarik pasar keuangan domestik yang tetap besar, serta ketidakpastian pasar keuangan global yang mereda," ungkapnya dalam konferensi pers di Kantor Pusat BI, Jakarta, 19 Desember 2019.
Baca Juga: Kejar Negara Maju di 2045, Menristek: Industri Harus terus Berinovasi
Perry bilang, BI meyakini ke depan nilai tukar Rupiah akan tetap stabil sesuai dengan fundamentalnya dan mekanisme pasar yang terjaga. Perkiraan ini didukung prospek neraca pembayaran Indonesia (NPI) yang tetap baik akibat berlanjutnya aliran masuk modal asing.
Hal itu seiring dengan prospek ekonomi domestik yang membaik dan imbal hasil yang menarik, serta dampak positif kebijakan moneter longgar di negara maju.
Sementara itu, Indeks harga Saham Gabungan (IHSG) ambil start pada level 6.194 pada awal 2019. Tahun ini, IHSG mencapai level tertinggi pada 6.547,88 yang terjadi pada 6 Februari 2019 dan terendah 5.826.87 yang tercapai 17 Mei 2019.
Namun ada yang perlu diwaspadai dari penguatan Rupiah. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance atau Indef Didik J Rachbini mengatakan, ada risiko di balik penguatan Rupiah.
Menurutnya, stabilitas Rupiah yang terjadi saat ini bertumpu pada derasnya aliran dana-dana jangka pendek (hot money). Ini terjadi karena tingkat bunga di Indonesia masih lebih ‘menggiurkan’ bagi investor dibanding negara-negara lain.
Baca Juga: Pengusaha Ramal Ekonomi Indonesia Hanya Tumbuh 4,85% pada 2020
“Derasnya modal yang distimulasi selisih suku bunga yang lebar dibanding negara lain ini bisa tiba-tiba keluar yang justru membuat ekonomi Indonesia semakin rentan. Oleh karena itu, kewaspadaan terhadap potensi pembalikan modal ke luar negeri tetap diperlukan guna mengantisipasi dampak negatif dari hot money,” kata Didik kepada Okezone.
Berdasarkan data Bloomberg per 16 Desember 2019, IHSG masih menguat 0,28%, sementara itu perubahan kurs Rupiah terapresiasi 2,71%.