JAKARTA - Ekonomi negara-negara dunia sedang tidak baik-baik saja. Rentetan dampak sebelum dan sesudah pandemi Covid-19 sangat terasa bagi sebagian negara. Sebut saja Sri Lanka.
Kini Sri Lanka dihadapkan dengan krisis ekonomi terburuk dalam sejarah, bahkan negara tersebut sudah bangkrut.
Sri Lanka yang kini telah bangkrut akibat gagal bayar utang luar negeri yang lebih dari Rp700 triliun dan inflasi lebih dari 50%.
BACA JUGA:Ngeri! 60 Negara Terancam Masuk Jurang Krisis Utang
Cadangan devisa Sri Lanka turun menjadi sekira USD1,6 miliar atau setara Rp22,8 triliun) pada akhir November. Angka ini hanya cukup untuk membayar impor selama beberapa minggu, sementara total utang luar negeri diperkirakan lebih dari USD45 miliar atau setara Rp643 triliun.
Salah satunya adalah utang ke China yang semakin menumpuk hingga melampaui USD5 miliar (Rp71,7 triliun) untuk pembangunan berbagai proyek infrastruktur, termasuk jalan, bandara, dan pelabuhan.
Data terbaru, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memprediksi 60 negara terancam mengalami krisis utang. Apalagi, sudah ada data 28 negara yang antre menjadi pasien International Monetary Fund (IMF)
"Sebanyak 60 negara terancam krisis utang," kata Sri Mulyani, Jakarta, Rabu 26 Oktober 2022.
BACA JUGA:Krisis Pangan Ancam Dunia, Wapres: Kita Sudah Siapkan Strategi
Sri Mulyani mencontohkan Sri Lanka. Di negara tersebut mengalami krisis ekonomi yang kompleks. Mayoritas anak-anak di Sri Lanka kini terpaksa mengonsumsi makanan yang hampir tidak mengandung protein. Ini adalah krisis yang melanda di setiap level, dari makro ekonomi hingga molekuler.
"Sebelumnya sudah terlihat contohnya yaitu Sri Lanka. Ada 60 negara sudah terjebak dalam debt distress, atau kondisi keuangannya dinilai sudah bisa memicu krisis utang, bahkan krisis ekonomi," ujar Sri Mulyani.
Saat ini kondisi ekonomi global juga dibayangi ancaman resesi global 2023. Ekonomi dunia belum pulih dari pandemi Covid-19 namun sudah dihantam dengan tekanan geopolitik akibat perang Rusia-Ukraina. Perang ini kemudian memicu lonjakan harga komoditas, yang kemudian mendorong kenaikan inflasi, krisis energi, hingga pangan.
Bagi negara-negara yang kondisi keuangan negaranya sudah rapuh karena sangat rentan mengalami krisis keuangan atau krisis utang.
Ada beberapa hal yang membuat negara terjerat utang. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan berbagai negara menyelamatkan ekonominya dengan menggunakan APBN masing-masing negara. Namun, setelah itu adanya lonjakan permintaan yang meningkat pesat karena mulai pulihnya ekonomi.
Dengan lonjakan permintaan membuat harga komoditas di dunia merangkak naik, hal ini diperparah dengan adanya perang Rusia-Ukraina yang berdampak pada krisis pangan hingga energi yang berujung pada lonjakan inflasi.
Untuk mengantisipai lonjakan inflasi, bank-bank sentral di dunia termasuk Bank Indonesia (BI) mengambil kebijakan pengetatan likuiditas dan menaikkan suku bunga acuan. Saat ini suku bunga acuan BI sudah naikk menjadi 4,75 basis point (bps).
Dengan naiknya suku bunga acuan berdampak pada menguatnya dolar AS. Hal ini sudah terasa ketika Rupiah terpukul melemah hingga ke level Rp15.600-an per USD. Naiknya suku bunga acuan juga meningkatkan biaya utang.
"Menyebabkan penguatan dari dolar yang luar biasa. Ini menimbulkan dampak yang harus dilihat karena tekanannya sangat besar," ucapnya.
Lalu bagaimana dengan utang pemerintah Indonesia?
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), utang pemerintah mencapai Rp7.420,47 triliun hingga akhir September 2022.
Utang pemerintah ini naik Rp708,95 triliun atau 10,56% dibandingkan September 2021 yang sebesar Rp6.711,52 triliun.
Sementara jika dibandingkan Agustus 2022 sebesar Rp7.236,61 triliun, utang pemerintah ini naik Rp183,86 triliun.
Kemenkeu memastikan utang tersebut masih dalam batas aman karena rasio utang mencapai 39,30% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau masih di bawah 60%.
Menurut Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo kondisi perekonomian Indonesia jauh lebih kuat secara struktur. Yustinus membandingkan, kondisi di Sri Lanka saat ini dengan Indonesia pada tahun 1998 yang sarat korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Krisis moneter tahun 1998 menyebabkan perekonomian Indonesia terpuruk di mana tingkat inflasi mencapai 70%, pertumbuhan ekonomi minus hingga 13% dan jatuhnya rezim Orde Baru di bawah Soeharto.
Pemerintah Indonesia diminta tetap mewaspadai dinamika ekonomi global dan geopolitik, walaupun kondisi Indonesia saat ini jauh lebih baik dibandingkan Sri Lanka.
IMF sendiri sudah mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia di 2023 mencapai 2,7%. Proyeksi dari pertumbuhan ekonomi tahun ini dan tahun depan diperkirakan akan lebih lemah,
"Bahkan kemungkinan terjadi resesi," pungkas Sri Mulyani.
Namun, ekonomi Indonesia disebut-sebut bisa bertahan dari resesi. IMF menyebut Indonesia sebagai titik terang di tengah kegelapan ekonomi dunia.
Tetapi Indonesia harus tetap waspada dan tidak jumawa. Hal ini sudah diingatkan oleh beberapa pejabat negara. Jika salah langkah, maka tidak menutup kemungkinan ekonomi Indonesia juga berdampak kena resesi global 2023. Dampak resesi global salah satunya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Menurut data Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat menyebut, gelombang PHK di Jawa Barat terus terjadi. Sektor padat karya seperti tekstil sejauh ini paling banyak melakukan pengurangan karyawan hingga mencapai 79.000 orang.
(Dani Jumadil Akhir)