Hal senada dikatakan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa. Dia menilai aturan baru yang mengatur harga maksimum listrik dari sejumlah energi terbarukan itu justru akan menghambat investasi di sektor EBT. Pasalnya dengan keluarnya regulasi tersebut subsidi tidak lagi diberikan kepada pengembang, di sisi lain pemerintah juga belum menyediakan skema insentif.
Menurut dia, seharusnya pemerintah menyiapkan terlebih dahulu skema pemberian insentif kepada investor sebelum mengeluarkan aturan. Insentif itu, kata dia, dapat berupa suku bunga pinjaman rendah hingga pembebasan pajak.
”Ketentuan Permen ini tidak bisa dilepaskan dari insentif pemerintah khususnya mendorong biaya investasi yang tinggi mengembangkan energi terbarukan. Karena jika dilihat pengembang swasta ini harus masuk 60% untuk mengejar target (bauran energi) 23% pada 2025,” kata dia.
Dia membeberkan bahwa tren pertumbuhan energi baru terbarukan di Indonesia mengalami penurunan dari tahun 1990-2010 dibandingkan dengan negara-negara lain yang secara masif menggenjot pertumbuhan EBT.
”Ini bisa dilihat bahwa listrik yang dihasilkan EBT itu walaupun besaran naik tapi persentase bauran energi justru turun,” tandasnya. Dia juga mengatakan jika dihitung dari BPP nasional maka aturan tersebut dianggap hanya akan mengembangkan potensi EBT di Indonesia bagian timur, namun menyulitkan pengembangan EBT di Indonesia bagian barat, khususnya di Jawa.