JAKARTA – Kalangan pengusaha dan perajin mebel menolak dengan tegas pemberlakuan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) oleh pemerintah. Kebijakan tersebut dinilai tidak masuk akal karena berlaku dari hulu sampai hilir.
Ketua Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Soenoto mengatakan, SVLK cukup diterapkan di hulu saja dan tidak perlu sampai ke hilir. Sebab, para pembeli di Eropa tidak pernah meminta SVLK kepada produsen furnitur Indonesia.
“Enggak masuk akal kalau melakukan sertifikasi dua kali untuk benda yang sama. Jika di hulu sudah dapat SVLK, buat apa di hilir pakai SVLK lagi,” ujar Soenoto di Jakarta.
Dia mengatakan, Uni Eropa tidak pernah memaksakan untuk menerapkan SVLK. Hal ini juga berlaku ke produsen negara lain, seperti China ataupun Vietnam. Oleh karena itu, tidak heran jika ekspor furnitur China dan Vietnam ke Uni Eropa cukup besar.
Soenoto mengungkapkan, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita menyatakan, jika Indonesia tidak menerapkan SVLK, maka Prancis dan Uni Eropa akan menghambat ekspor CPO Indonesia. Padahal, menurut Soenoto, hal tersebut tidak ada hubungannya.
Menurut dia, urusan ekspor impor adalah mengenai kualitas. “Kami akan yudisial review, aturan ini enggak masuk akal dan memberatkan UKM,” kata Soenoto.
Selain itu, Soenoto menegaskan, asosiasi juga mempertanyakan alasan sebenarnya Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup yang ngotot memberlakukan SVLK.
Padahal, Presiden Joko Widodo sudah setuju bahwa SVLK hanya diterapkan di hulu. Menurut Soenoto, eksportir mebel yang mengandung kayu tersinggung dengan pemberlakuan SVLK. Sebab, semestinya persoalan legalitas diselesaikan dengan pendekatan hukum dan bukan membuat regulasi baru yang memberatkan pelaku usaha.
Dia menambahkan, pemberlakuan SVLK juga hanya akan menambah beban bagi pelaku UKM karena menelan biaya yang tidak murah. Untuk mengurus SVLK, pelaku usaha harus merogoh kocek sekira Rp19 juta sampai Rp30 juta. Hal ini akan menurunkan daya saing produk furnitur Indonesia dan akhirnya ekspor furnitur bakal merosot drastis.
Dengan demikian, target ekspor furnitur sebesar USD5 miliar tidak akan tercapai dan Indonesia akan semakin ketinggalan dengan China dan Vietnam. Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Himki Abdul Sobur mengatakan, hingga semester I/2017, nilai ekspor industri mebel dan kerajinan baru mencapai USD696 juta atau lebih rendah 12% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. “Penurunan ini terutama terjadi untuk tujuan ekspor ke Eropa,” ujarnya.
Follow Berita Okezone di Google News
(rzk)