JAKARTA - Penulis buku Tere Liye menyampaikan keberatannya mengenai pajak yang diberikan pemerintah untuk profesi penulis sebesar 15% sesuai dengan Pajak Penghasilan (PPh) pasal 23. Menurutnya Pajak tersebut terlalu tinggi.
Hal itu diungkapkan oleh Tere Liye melalui akun media sosial Facebook. Adapun dia mengeluhkan tidak-adilnya perlakuan pajak kepada profesi penulis. Serta tidak pedulinya pemerintahan sekarang menanggapi kasus ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pun tidak tinggal diam. Dirinya mengutarakan isi hatinya yang shock melihat Tere Liye yang frustasi, apalagi dikarenakan karena kebijakan Menkeu sendiri, yaitu perpajakan.
"Saya terhenyak ketika membaca berita bahwa seorang Tere Liye akan berhenti menerbitkan buku karena masalah perpajakan. Tere Liye menyatakan frustrasinya menghadapi "kebijakan perpajakan" dan "perlakukan aparat atau kantor pajak" terhadap kewajiban membayar pajak penghasilannya sebagai penulis. Hal ini menyangkut perlakukan perpajakan atas royalti yang diterima dari buku-buku yang ditulis Tere Liye," ujarnya dalam akun facebook, Jakarta, Senin (11/9/2017).
Dirinya mengatakan, kebijakan perpajakan di Indonesia diatur oleh Undang-Undang (UU) yang kemudian diturunkan oleh Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan atau Peraturan Dirjen Pajak. Ada bagian kebijakan yang ditetapkan oleh UU yang tidak bisa diubah serta merta oleh Dirjen, Menteri atau bahkan Presiden seperti masalah tarif pajak penghasilan (PPh) dan penjenjangan tarif (progresivitas) PPh perorangan.
Namun ada juga kebijakan yang dapat diubah lebih cepat dan dalam kewenangan Menteri dan Dirjen Pajak misalnya penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi WP orang pribadi, setelah dikonsultasikan dengan DPR dan besaran norma penghitungan penghasilan neto bagi WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto kurang dari 4,8 M rupiah setahun (yang tidak menyelenggarakan pembukuan)," ujarnya.
Berikut catatan tertulis Sri Mulyani untuk persoalan Tere Liye.
""Tentang Tere Liye"
Bagi saya, buku adalah sahabat sejati. Dia menemani saya dimana saja dan kapan saja tanpa pernah protes - saat di mobil, waktu antri di dokter gigi, ketika hendak menikmati "me time" juga menjelang tidur. Membaca buku selalu mampu membawa saya pada dunia lain dan bahkan kadang mampu memberikan perspektif lain mengenai hidup dan kehidupan.
Buku yang bagus tidak ditulis begitu saja. Ada ide, imajinasi yang harus dikombinasikan dengan riset, data, survey bahkan kunjungan lapangan yang kemudian dirangkai dalam kata menjadi cerita dan pesan. Ada jerih payah tidak mudah (keringat, airmata atau bahkan darah) yang nyata dibalik terbitnya suatu buku, juga biaya yang sering tidak sedikit. Meski penulis yang memiliki passion menulis pasti juga menikmati proses menulis itu sendiri.
Oleh karena itu, saya terhenyak ketika membaca berita bahwa seorang Tere Liye akan berhenti menerbitkan buku karena masalah perpajakan. Tere Liye menyatakan frustrasinya menghadapi "kebijakan perpajakan" dan "perlakukan aparat atau kantor pajak" terhadap kewajiban membayar pajak penghasilannya sebagai penulis. Hal ini menyangkut perlakukan perpajakan atas royalti yang diterima dari buku-buku yang ditulis Tere Liye.
Kebijakan perpajakan di negara kita diatur oleh Undang-Undang (UU) yang kemudian diturunkan oleh Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan dan atau Peraturan Dirjen Pajak. Ada bagian kebijakan yang ditetapkan oleh UU yang tidak bisa diubah serta merta oleh Dirjen, Menteri atau bahkan Presiden seperti masalah tarif pajak penghasilan (PPh) dan penjenjangan tarif (progresivitas) PPh perorangan. Namun ada juga kebijakan yang dapat diubah lebih cepat dan dalam kewenangan Menteri dan Dirjen Pajak misalnya penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) bagi WP orang pribadi, setelah dikonsultasikan dengan DPR dan besaran norma penghitungan penghasilan neto bagi WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto kurang dari 4,8 M rupiah setahun (yang tidak menyelenggarakan pembukuan).