Dengan begitu, limbah buang dari proses pembakaran batubara lebih ramah lingkungan. Tak hanya menghasilkan energi dari pemanasan batubara, dari proses itu kandungan sulfur dalam batubara dapat disisihkan dari batubara secara biologik dengan memanfaatkan Thiobacillus ferrooxidans.
Hasil penelitian lainnya juga menghasilkan bahan bakar cair melalui biosolubilisasi. Dengan mengonversi batubara menjadi bahan bakar cair, abu tidak akan dihasilkan pada pembakaran.
“Mengingat beberapa keunggulan yang dimiliki batubara, Indonesia memiliki potensi untuk memberikan kontribusi pada pengembangan teknologi pemrosesan batubara ramah lingkungan pada masa kini dan masa depan,” kata Dwiwahju Sasongko.
Temuan tersebut, kata dia, diharapkan dapat kembali menggerakkan industri batubara. Karena, kata dia, Indonesia memiliki cadangan terbanyak kesembilan atau sekitar 2,2% dari seluruh cadangan batubara dunia. Sayangnya, sekitar 80% cadangan batubara Indonesia termasuk batubara peringkat sedang dan rendah dengan nilai kalor kurang dari 5.000 kkal/kg.
Batubara dengan nilai kalor yang rendah ini masih sedikit atau belum dimanfaatkan. Dengan produksi batubara lebih dari 400 juta ton per tahun, hanya sekitar 20% yang dimanfaatkan untuk keperluan dalam negeri sementara 80% diekspor.
Saat ini, pemanfaatan batubara yang paling banyak dijumpai adalah pembakaran langsung untuk membangkitkan panas. Salah satunya dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Namun, proses itu menyebabkan terbentuknya emisi gas rumah kaca dan berpotensi mencemari lingkungan dengan senyawa, seperti NOx dan SOx yang menyebabkan hujan asam.
(arif budianto)
(yau)
(Rani Hardjanti)