“Kalau dampak kebijakan itu mulai berlaku harga minyak melonjak menjadi USD90- USD100 per barel, saya sudah tidak bisa komentar lagi karena semestinya harga BBM juga sudah naik tentunya, karena memberatkan fiskal dan keuangan Pertamina,” ujarnya.
Pri Agung menambahkan, jika harga minyak sampai dengan November tidak melonjak, pemerintah sudah siap dengan skenario tidak menaikkan premium dam solar.
Namun, pendapat berbeda dilontarkan oleh pengamat energi dari Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi. Menurut dia, Pertamina punya cara mengatasi kerugian akibat fluktuasi harga minyak dunia dan depresiasi rupiah terhadap dolar AS.

Fahmy mengatakan, Pertamina bisa memperoleh keuntungan dari penjualan pertalite, pertamax, dan premium. Keuntungan penjualan dari BBM jenis lainnya itulah yang dimanfaatkan untuk menutupi potential loss.
“Itu baru jualan di sektor hilir. Pertamina, kan, juga mempunyai usaha-usaha lain di sektor hulu dengan jumlah besar. Pemerintah memberikan juga blok-blok migas terminasi, seperti Blok Mahakam atau Blok Rokan untuk dikelola Pertamina,” katanya.

Fahmy menilai keuangan Pertamina tidak akan tergerus signifikan. Sebaliknya, Pertamina tetap memperoleh keuntungan dari keseluruhan pendapatan hulu dan hilir.
“Pertamina masih mencatat keuntungan, tapi memang tidak sebesar kalau menaikkan harga premium,” katanya.
Sementara itu, pengamat energi dari Universitas Indonesia Iwa Garniwa beranggapan pemerintah harus mempunyai kebijakan tidak merugikan Pertamina. Dia mengatakan, pada 2017 laba BUMN migas terbesar RI ini pun merosot 23% dibanding tahun sebelumnya, yakni USD2,41 miliar dari USD3,15 miliar yang pernah dicapai pada tahun sebelumnya. (Nanang wijayanto/Koran Sindo)
(Feb)
(Rani Hardjanti)