Peserta BPJS Ketenagakerjaan membutuhkan biaya sekolah untuk anak-anaknya sehingga terpaksa mengambil dana kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan karena aturannya saat ini memang memungkinkan untuk menarik dana tersebut kapan saja. “Kondisi ini bisa jadi merupakan efek dihilangkannya fasilitas beasiswa bagi anak peserta yang pernah ada di zaman Jamsostek dulu. Namun, kini fasilitas beasiswa tadi sudah dihilangkan sejak Jamsostek berubah menjadi BPJS Ketenagakerjaan,” kata Subiyanto. Ketua Komite Kebijakan DJSN Zaenal Abidin mengatakan, permasalahan tunggakan iuran BPJS Kesehatan yang besar juga menjadi fokus perhatian kerja DJSN. Sebab, banyaknya peserta BPJS Kesehatan yang menunggak iuran juga berkontribusi pada terjadinya defisit BPJS Kesehatan.
“Masalah ini ibaratnya BPJS mengalami anemia dalam menjalankan fungsinya,” ujar dia. Seperti diketahui, saat ini BPJS Kesehatan mengalami defisit keuangan hingga Rp16 triliun. “Untuk itu DJSN akan melakukan penyesuaian terhadap besaran iuran yang dipastikan besaran iuran BPJS akan naik,” kata Zaenal, yang mantan Ketua IDI ini. Kemudian, Anggota DJSN Rudy Prayitno mengatakan, pendaftaran jaminan sosial masih terkendala ketiadaan nomor induk kependudukan (NIK), terutama di daerah-daerah. Seharusnya ada solusi untuk mengatasi masalah NIK ini.
“Jangan sampai jaminan sosial terabaikan karena merupakan hak asasi manusia yang belum diseriusi pemerintah. Hiruk-pikuk defisit JKN seharusnya tidak perlu terjadi jika pemerintah mengamalkan pasal 48 UU SJSN, di mana pemerintah berkomitmen menyehatkan keuangan BPJS,” tandas Rudy.
(Nuriwan Trihendrawan)
(Kurniasih Miftakhul Jannah)