"Tahun 2018 itu berat sekali, karena tekanannya itu (selain kenaikan suku bunga acuan The Fed) di kombinasi juga dengan perang dagang.
Tahun 2013 juga yang berat itu harga minyak mentah yang naik, tapi di 2018 selain harga minyak naik, ada perang dagang dan ketidakpastian dari kebijakan Trump," paparnya.
Dalam kondisi demikian, Chatib menilai Sri Mulyani mampu mengelola keuangan negara dengan baik. Menurutnya, bila pengelolaan fiskal tidak tepat maka kurs Rupiah semakin terpukul dalam karena penguatan Dolar AS.
"Prestasinya sangat baik (Sri Mulyani), seandainya fiskal agak terlambat dilakukan penyesuaian, itu Rupiah bisa lebih dari Rp15.200 per USD. Jadi yang dilakukan pemerintah sampai defisitnya (APBN) hanya 1,76% (dari PDB di 2018) itu luar biasa sekali," kata dia.
Chatib berkisah, pada tahun 2013 ketika dirinya menghadapi gejolak ekonomi global maka dengan terpaksa menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Langkah itu diambil untuk menjaga kesehatan APBN.