”Tapi kalau ada klien yang minta diendorse produk makanannya, pasti saya siapkan waktu. Sebab saya masih menganggap ini profesi sampingan, tapi ke depan tidak menutup saya bisa full time sebagai YouTuber mengingat sudah banyak contoh keberhasilan platform ini melahirkan public figure,” papar Henji. Dihubungi terpisah, pakar digital media sosial, Heru Sutadi mengatakan dengan jumlah pengguna internet yang besar yakni 180 juta jiwa dan didominasi anak muda, tidak mengherankan banyak artis-artis yang lahir dari platform media sosial ini.
”Misalnya di media YouTube, banyak sederetan artis yang lahir dari platformmedia ini. Sebut saja Atta Halilintar, Ria Ricis, atau bahkan yang sudah tenar Raffi Ahmad maupun Baim Wong,” ungkapnya kepada KORAN SINDO. Menurut dia, dari 180 juta pengguna internet, 80% memanfaatkan platform media sosial seperti YouTube, Facebook, Instragram, maupun Twitter. Meski begitu, untuk menjadi seorang selebritas tidaklah segampang atau semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan konsistensi dan ketertarikan tersendiri. ”Ada yang memotret kehidupan sehari-hari. Ada yang sifatnya ngerjain orang atau prank, ada yang mengulas soal makanan, pakaian, dan sebagainya. Jadi tinggal passionnya aja. Dan, lebih penting konsistensi untuk mengumpat gambar maupun video,” ungkapnya.
Baca Juga: Perceraian Orang Terkaya di Dunia Jeff Bezos Cetak Rekor Rp495 Triliun
Untuk membangun follower maupun pelanggan berlangganan seperti di platform media YouTube juga butuh anggaran yang tak sedikit. ”Ya modal kamera sebenarnya sudah cukup. Yang lebih serius lagi ada kru dan perlengkapan lain seperti lightning dan sebagainya. Biayanya tentu tak sedikit,” katanya. Yang pasti, kata dia, harus fokus untuk terjun di dunia seperti ini. ”Selama kreatif itu terus ada, saya kira juga akan terus menggeliat,” paparnya. Dia menambahkan, media seperti YouTube merupakan channel kreatif yang punya potensi besar untuk mengedukasi. Artinya, bukan hanya soal keartisan, ”kepo” yang ingin ditonton oleh khalayak, namun juga tontonan yang sifatnya edukasi dan kreatif.
”Karena ini potensi makanya berkembangnya juga akan ke mana-mana. Edukasi yang kita harapkan saat ini. Misalnya, soal kepariwisataan, eksplorasi makanan, dan sebagainya di YouTube ini juga akan berkembang ke arah sana sebab trennya ke sana semua,” pungkasnya. Pengamat marketing Yuswohady menilai profesi You- Tuber sangat potensial dalam jangka panjang. Tren ini tidak jauh berbeda dengan artis pengisi acara di TV yang memiliki pengaruh signifikan dalam budaya populer di Tanah Air. Namun, yang menjadi hukum dalam budaya pop adalah selalu mencari kebaruan yang sangat sulit untuk dijaga konsistensinya oleh pelaku konten kreator.
”Pelakunya bisa gonta-ganti, tapi profesinya akan sustainable. Karena YouTube hanya menggantikan peran TV sesuai pasarnya sekarang adalah generasi milenial. Mereka menginginkan sesuatu yang ringan sehingga itulah yang akan populer,” ujar Yuswo kemarin. Lebih lanjut, dia mengatakan tren di YouTube sangat cepat berubah. Pelaku konten kreatif sangat sulit untuk menjaga kesegaran dan kepopulerannya. Misalnya Atta Halilintar sekarang naik daun, lalu heboh diundang ke TV dan akhirnya akan membosankan. ”Biasanya yang dibangun perlahan bisa lebih bertahan lama dibandingkan yang meroket cepat,” ujarnya.
Namun, dia juga mengapresiasi YouTuber menghasilkan entrepreneur individu yang positif untuk negara. Mungkin awalnya orang nganggur lalu punya kreativitas akhirnya menghasilkan. Karyanya bisa saja memiliki pasar karena itu bisa membuat orang melejit atau from hero to zero. ”Bukan masalah penting atau tidaknya. Tapi selera penontonnya menginginkan itu. Faktanya karya yang substansial dan mengajak berpikir justru tidak viral di Indonesia. Itulah cermin masyarakat kita,” tegasnya.
(Ichsan Amin/ Hafid)