JAKARTA - Tarif baru ojek online (Ojol) yang mulai berlaku 1 Mei 2019 akhirnya menuai berbagai kritikan. Tarif baru yang realitasnya merupakan kenaikan tarif ini dinilai memberatkan konsumen. Kenaikan tarif juga dinilai tidak serta merta meningkatkan kesejahteraan pengemudi. Yang ada, kenaikan tarif ini justru berpotensi mengganggu ekonomi Indonesia.
Berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan No 348/2019, terdapat beberapa batasan tarif untuk mitra pengemudi ojek online. Tarif batas bawah yang semula Rp 1.500 menjadi Rp. 2.000. Tarif batas atas yang semula Rp 2.000 menjadi Rp 2.500.
Kenaikan tarif tersebut tampaknya hanya tarif bersih yang didapat mitra pengemudi, bukan konsumen. Akibatnya, tarif yang dikenakan kepada konsumen jauh lebih mahal karena harus membayar jasa sewa aplikasi.
"Tarif atau biaya jasa yang tertera pada Kepmenhub No. 348/2019 merupakan tarif bersih yang akan diterima pengemudi. Artinya, tarif yang harus dibayar konsumen akan lebih mahal lagi mengingat harus ditambah biaya sewa aplikasi," ujar Ketua Tim Peneliti Research Institute of Socio-Economic Development (RISED) Rumayya Batubara seperti dilansir Harian Neraca, Jakarta, Rabu (8/5/2019).
Baca Juga: Go-Jek dan Grab Monopoli Transportasi Online Indonesia?
Di Zona II (Jabodetabek), tarif yang dikenakan terhadap konsumen mencapai Rp 2.500 sampai Rp 3.125 per kilometer sebagai tarif dasar. Padahal dalam keputusan Menteri Perhubungan hanya sekitar Rp 2.000 sampai Rp 2.500. Untuk tarif minimum, dikenakan mulai Rp 8.000 hingga Rp 10.000.
Untuk Zona I (Jawa non-Jabo, Bali, dan Sumatera) dan Zona III (Wilayah sisanya) pun tak jauh berbeda. Di zona I, tarif dasar berada di kisaran Rp 2.312 sampai Rp 2.875. Di Zona III, berada di kisaran Rp 2.625 sampai Rp 3.250.
Kenaikan tarif ojol yang cukup signifikan ini telah membuat banyak pihak khususnya konsumen tidak setuju. RISED menemukan, 75% masyarakat Indonesia menolak kenaikan tarif ini. Kenaikan tarif paling besar ditolak oleh masyarakat Jabodetabek sebesar 82%.
Rumayya mengatakan, penolakan ini terjadi karena 72% masyarakat pengguna ojek online berpendapatan menengah ke bawah. Apalagi, kesediaan rata-rata konsumen untuk membayar lebih (willingness to pay) berkisar Rp 5.000, sementara kenaikan tarif bisa mencapai Rp 6.000 hingga Rp 15.000.
"Padahal sejak awal, alasan utama konsumen memilih ojol karena keterjangkauan tarifnya," ujarnya.
Baca Juga: Mahalnya Tarif Ojek Online Bisa Kerek Inflasi
Kenaikan tarif ini pun rupanya tak memicu peningkatan kesejahteraan ojol. Sebab, kenaikan tarif justru menggerus permintaan ojol hingga 75%, yang akhirnya bisa berdampak negatif terhadap pendapatan pengemudi.
Seperti diketahui, 75% masyarakat telah menolak kenaikan tarif tersebut. Hal ini membuat masyarakat berpindah moda transportasi dan menggerus pendapatan mitra. "Mereka sekarang beralih ke angkot. Biasanya mereka naik ojol hanya bayar Rp 23 ribu, saat ini mereka membayar hampir dua kali lipat hingga Rp 40.000," ujar Rumayya.
