Jika kenaikan tarif ini berlangsung lama, Fithra menyebut hal ini akan memberikan kontraksi akut terhadap perekonomian yang mencapai Rp 30 sampai Rp 40 triliun. "Pada akhirnya, Indonesia akan berpotensi kehilangan bisnis tertentu yang menjadi salah satu sumber perekonomian," ujarnya.
Untuk itu, pemerintah hendaknya mengevaluasi regulasi tarif bisnis ojol. "Sudah saatnya pemerintah mendasarkan pembuatan kebijakan pada bukti-bukti statistik mengenai kondisi objektif yang terjadi di masyarakat. Perlu evaluasi berkala dalam jangka waktu yang tidak terlalu panjang, supaya bisa meninjau efektivitas kebijakan terhadap kesejahteraan konsumen dan pengemudi," ujar Rumayya.
Secara terpisah, Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Saragih turut memberikan beberapa saran terkait penetapan tarif baru ojek online (ojol) yang mulai diberlakukan sejak 1 Mei 2019.
Menurut Guntur, pemerintah dalam hal ini Kementerian Perhubungan (Kemenhub) seharusnya tidak perlu memberlakukan tarif batas bawah bagi konsumen. Menurutnya, perlindungan terhadap pihak mitra pengemudi justru lebih penting.
"KPPU justru tidak melihat harus ada (tarif) batas bawah kepada konsumen. Tapi perlindungan terhadap driver sesuai dengan undang-undang UMKM itu harus terjadi. Antara ojolnya (aplikator) dengan para driver," ujarnya.
Seperti diketahui, berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan RI Nomor KP 347 Tahun 2019, pemerintah telah menentukan pemberlakuan tarif batas bawah yang terbagi ke dalam tiga zona.
Namun begitu, pada Sabtu 4 Mei, Go-Jek sempat mengubah data tarif per km untuk wilayah Jabodetabek yang masuk dalam Zona II, yakni dari Rp 2.500 menjadi Rp 1.900. Kontan saja, perubahan mendadak itu menuai reaksi mitra pengemudi Go-Jek yang sempat mengancam mogok nasional pada awal pekan ini. Ancaman tersebut rupanya mengubah keputusan Go-Jek yang mengembalikan besaran tarif seperti biasa, sehingga membuat driver ojolnya batal melakukan aksi.
(Dani Jumadil Akhir)