Meresahkan Masyarakat
Sementara itu, ekonom UI Fithra Faisal mengimbau aplikator untuk menyejahterakan pengemudi dengan menyesuaikan upah, bukan menaikkan tarif yang berujung meresahkan masyarakat. Apalagi, jam kerja mitra tidak sepadan dengan hasil upah meskipun rata-rata pendapatan mitra setara dengan Upah Minimum Regional (UMR) atau 25% lebih tinggi. Mitra pun lebih banyak terpapar polusi saat bekerja.
"Ini skemanya harus berubah. Dari sisi kesejahteraan kenapa mereka (mitra ojol) tidak lebih sejahtera dibanding teman-temannya yang bekerja di pabrik? Mereka mendapat upah yang sama atau 25% lebih tinggi tapi jam kerja enggak teratur," ujarnya.
Menurut Fithra, seharusnya ini kesepakatan bersama antara aplikator dan pengemudi. Bukan tarifnya malah dibebankan ke konsumen. Karena konsumen sudah cukup terbebani.
Selain relasi pengemudi, konsumen, dan aplikator, kenaikan tarif ini ternyata memengaruhi ekonomi makro Indonesia. Kenaikan tarif ojek online yang momennya berbarengan dengan puasa, bisa mendongkrak inflasi yang di saat itu memang sudah tinggi.
"Keterkaitan kenaikan harga ini terhadap inflasi bisa mencapai 20-30%. Kalau saya masukkan faktor ekspektasi, itu bisa sampai 50%," ujarnya.
Penerapan tarif baru yang realitasnya merupakan kenaikan tarif ini disayangkan karena momentumnya berdekatan dengan bulan Ramadan. Pasalnya, Inflasi cenderung meningkat saat puasa dan Hari Raya, menyusul naiknya permintaan masyarakat bagi sejumlah komoditas.
"Kenaikan tarif ojol yang cukup tinggi tentunya akan berkontribusi bagi semakin tingginya tingkat inflasi. Apalagi berdasarkan hasil survey RISED, biaya pengeluaran transportasi sehari-hari berkontribusi sekitar 20% per bulannya," ujarnya.
Selain itu, kenaikan tarif ojol juga berdampak pada penjualan 70% UKM. Padahal sektor ini menyumbang hingga Rp 70 triliun terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sebagai contoh, restoran mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi hingga 6,71%, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5% pada tahun 2018. Jika tarif naik, maka penjualan pun akan semakin menyurut dan tidak mampu menyumbang pertumbuhan ekonomi hingga 6% lagi.
"Itu baru restoran. Kalau ditambah sektor-sektor kunci lain yang juga membantu meningkatkan perekonomian, maka dampaknya akan semakin besar akibat kenaikan tarif ini," ujarnya.
Apalagi, Fithra menyebut kenaikan tarif transportasi tidak sebentar. Sebab, kenaikan tiket pesawat pada bulan November hingga Desember 2018 pun dampaknya masih terasa hingga Februari 2019.