Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca di 10 Provinsi Sentra Beras Mampu Tekan Impor

Feby Novalius , Jurnalis-Rabu, 12 Juni 2019 |10:51 WIB
Penerapan Teknologi Modifikasi Cuaca di 10 Provinsi Sentra Beras Mampu Tekan Impor
Foto: Okezone
A
A
A

Wilayah lainnya dengan rata-rata produksi beras 2 hingga 5 juta ton seperti Sumatera Utara, maka TMC dapat dilaksanakan pada bulan Maret, April, Mei, atau Desember. Demikian pula, Sumatera Barat dapat dilaksanakan TMC pada bulan Maret, September atau Oktober. Selanjutnya untuk Sumatera Selatan pada bulan Februari atau Mei. Provinsi Lampung diusulkan TMC pada bulan Maret, Sulawesi Selatan pada bulan April, dan Kalimatan Selatan pada bulan Mei atau Oktober.

Menurut Budi Harsoyo, sistem Perberasan Nasional tidak hanya memasukkan faktor sarana irigasi, benih atau pupuk saja selaku inputan yang terkontrol, tetapi juga bergantung pada faktor lingkungan yang terdiri dari unsur iklim, air, serta lahan, termasuk bencana alam.

“Perubahan iklim dapat diintervensi oleh pemanfaatan TMC,” ujarnya.

Pemanfaatan TMC untuk kebutuhan irigasi dan pertanian, kata Budi, sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah No.42/2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air. Hal itu tercantum pada Paragraf 3 tentang Pengisian Air Pada Sumber Air Pasal 53 ayat 1 (d) yang menyebutkan bahwa Pengisian air pada sumber air dapat dilaksanakan, antara lain, dalam bentuk pemanfaatan Teknologi Modifikasi Cuaca untuk meningkatkan curah hujan dalam kurun waktu tertentu. Pada bagian lain dalam Bagian Keenam tentang Pengembangan Sumberdaya Air, Pasal 82 juga menyebutkan bahwa pengembangan fungsi dan manfaat air hujan dilaksanakan dengan mengembangkan Teknologi Modifikasi Cuaca.

Seperti diketahui, sejarah modifikasi cuaca di Indonesia bermula dari gagasan Presiden Soeharto yang menginginkan dilaksanakannya kegiatan hujan buatan di Indonesia untuk memberikan dukungan kepada sektor pertanian di Indonesia, seperti halnya yang sudah dilaksanakan di Thailand. Gagasan tersebut kemudian direspon oleh Prof.Dr.Ing BJ Habibie yang saat itu menjabat sebagai Menteri Negara Riset dan Teknologi dengan melakukan percobaan hujan buatan pada tahun 1977 di daerah Bogor, Sukabumi dan Solo, dibawah asistensi Prof. Devakul dari Department of Royal Rainmaking and Agricultural Aviation (DRRAA) Thailand.

Awalnya pada periode tahun 1976 – 1978 Hujan Buatan berada di Direktorat Agronomi Divisi Advanced Technology Pertamina dan kegiatannya masih bersifat percobaan. Pada tahun 1977, status percobaan ditingkatkan menjadi Proyek Hujan Buatan dan berada pada Direktorat Agronomi Divisi Advanced Technology Pertamina. Tahun 1978, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) berdiri dan secara kelembagaan Proyek Hujan Buatan berada pada Direktorat Pengembangan Kekayaan Alam (PKA, kini berubah nama menjadi Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam - TPSA).

Pada bulan Desember 1985, status Proyek Hujan Buatan ditingkatkan menjadi Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan (UPTHB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi/Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi No: SK/342/KA/ BPPT/XII/1985 tanggal 3 Desember 1985, yang kemudian pada tanggal 19 Oktober 2015 berubah nama menjadi Balai Besar Teknologi Modifikasi Cuaca (BBTMC) berdasarkan Peraturan Kepala (Perka) BPPT No. 10 Tahun 2015. Berdasarkan Perka BPPT Nomor 010 Tahun 2015 tersebut, BBTMC memiliki tugas melaksanakan kegiatan pelayanan Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) dengan salah satu fungsinya adalah memberikan pelayanan jasa TMC kepada instansi Pemerintah dan swasta.

Pada awalnya, pemanfaatan TMC di Indonesia banyak dimanfaatkan untuk mengisi sejumlah waduk strategis di Pulau Jawa guna menambah pasokan air untuk keperluan irigasi pertanian. Dalam perkembangan selanjutnya, pemanfaatan TMC di Indonesia tidak lagi hanya untuk mendukung ketersediaan air untuk kebutuhan irigasi pertanian, namun juga mulai banyak dimanfaatkan untuk berbagai tujuan lainnya seperti untuk kebutuhan air PLTA, mitigasi bencana hidrometeorologi (bencana kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan, banjir) dan bahkan dalam beberapa tahun terakhir juga mulai banyak dimanfaatkan untuk mendukung produktivitas sektor pertambangan.

“Saat ini kami tengah berupaya mensosialisasikan kembali konsep pemanfaatan TMC untuk mendukung sektor pertanian di Indonesia kepada Kementerian Pertanian RI. Harapan kami, ke depan TMC dapat kembali diaplikasikan di sejumlah provinsi sentra produsen beras nasional untuk meningkatkan produktivitas pertanian nasional. Jadi, kami ingin mengembalikan TMC kepada khittah-nya, kepada tujuan awal digagasnya teknologi ini di Indonesia oleh Presiden Suharto dulu, yaitu untuk mendukung sektor pertanian di Indonesia,” tutup Seto.

(Feby Novalius)

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita finance lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement