NEW YORK - Potensi bisnis dalam ekonomi digital sangat besar, yakni mencapai 6,9% dari produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat (AS) atau sebesar USD1,35 triliun (Rp19.358 triliun) pada 2017. Saat ini keuntungan tinggi tersebut sebagian besar masuk ke rekening Facebook, Google, dan Amazon.
Seperti dilansir Business Insider, berdasarkan data eMarketer, tiga perusahaan teknologi paling berharga di dunia itu masing-masing menguasai segmen pangsa pasar tertentu dalam ekonomi online di AS. Segmen itu terbagi ke dalam penjualan e-commerce, iklan digital, iklan media sosial, hingga iklan mobile.
Sekitar 37,7% e-commerce dikuasai Amazon. Adapun iklan digital dikuasai Google dengan 37,2%, disusul Facebook 22,1%, dan Amazon 8,8%. Iklan media sosial hampir sepenuhnya dikuasai Facebook, yakni mencapai 83,3%. Sementara iklan mobile dikuasai Google dengan 33%, Facebook 30,8%, dan Amazon 5,2%.
Baca Juga: Potensi Ekonomi Digital RI Diprediksi Capai USD65 Miliar
Google dan Amazon juga mendapatkan sumber pendapatan baru di tengah industri pertelevisian yang sedang tersendat. Hampir 27% pelanggan yang menonton video streaming di televisi dilakukan melalui Amazon, sedangkan melalui Google hampir 17%. Situs video mereka bahkan menguasai pasar hampir 100%.
Senator Elizabeth Warren berharap ekonomi digital di AS tidak dimonopoli. Perwakilan Warren, Saloni Sharma, memperingatkan perusahaan teknologi raksasa dapat merusak demokrasi dan membunuh generasi baru. “Dewasa ini perusahaan teknologi raksasa memiliki terlalu besar kekuasaan,” tandas Sharma.
Pejabat tinggi antimonopoli Kementerian Keadilan AS, Asisten Jaksa Umum Makan Delrahim juga mengatakan akan menyelidiki perusahaan teknologi raksasa jika mereka telah melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Ciri-cirinya ialah kolusi antarperusahaan, peraturan eksklusif, dan akuisisi pesaing baru.
“Berbicara mengenai penegakan regulasi antimonopoli dalam ekonomi digital, isu utama yang harus kita selesaikan adalah apakah perusahaan tumbuh akibat inovasi, kualitas, dan harga atau akibat beberapa transaksi dan praktik bisnis yang tidak seimbang dan tidak kompetitif,” ucap Delrahim, dilansir CNBC.
Baca Juga: Sri Mulyani: Pertemuan IMF-World Bank Bahas Risiko Ekonomi Digital
Kementerian Keadilan dan Komisi Perdagangan Federal akan menekan kerja sama. Perusahaan teknologi diyakini dapat melewati garis merah antimonopoli tanpa diketahui jika saling berkoordinasi dalam menentukan harga atau menguasai pasar. Mereka juga dituduh berkolusi dalam menentukan gaji karyawan.
Selain itu, perusahaan teknologi juga berkolaborasi dengan perusahaan lain dalam menentukan kesepakatan eksklusif sehingga kompetitor atau pemasok kesulitan membentuk kesepakatan serupa. Microsoft juga pernah tersandung kasus kesepakatan eksklusif pemasangan perangkat Internet Explorer dengan firma komputer.