Lembu-lembu itu hilang ditelan gelombang, sedang di tepi pantai seorang petani perempuan mencangkuli hamparan pasir bagaikan tanah persawahan.
Perempuan itu bulat telanjang.
Katanya, di gunung aku berpakaian karena kedinginan, mengapa di laut tak boleh aku telanjang sedang aku kepanasan?
Kulihat perempuan-perempuan kota yang kaya-kaya telanjang berbaring bermalas-malasan, mengapa tak boleh pula aku bertelanjang sedang aku kepanasan karena mencangkul nafkah kehidupan?
Air mengijinkanku bebas telanjang, karena air hendak menyirami aku dengan kesegaran dan harapan.
Perempuan itu menangkap ikan dengan cangkul.
Pikirnya, di gunung aku menyambung kehidupan dengan cangkul di laut ini aku juga hendak mempertahankan kehidupan, kenapa aku tak bisa dan tak boleh menggunakan cangkulku?
Ia lalu mencangkul dan mencangkul, sampai berlubanglah tanah di pantai bagaikan sumur.
Kerjanya selesai di saat datang gelombang pasang, dan ketika kembali surut gelombang, penuhlah sumur-sumur itu dengan ikan.
Perempuan petani itu terkejut, sebelum ia mulai memungut, ikan-ikan itu seakan memberikan diri mereka padanya.
Berupa-rupalah ikan itu bentuk dan warnanya: ikan sapi, ikan lembu, ikan babi, ikan kuda, ikan angsa, ikan bebek, ikan ayam.
Perempuan itu terbelalak, pikirannya terbuka jelas: Kehidupan adalah sama, di gunung maupun di lautan, karena itu tiada bedanyalah ikan di laut dengan binatang di gunung: sapi, lembu, babi, kuda, angsa, bebek dan ayam.
Senja sedang tiba, tepian pantai meminta cahaya matahari meninggalkannya.
Rekah-rekah merah di angkasa, tiba-tiba tampaklah seorang wanita berbadan duyung datang mengendarai ombak bergulung-gulung.