JAKARTA - Pemerintah dalam menangani pandemi virus corona menyiapkan stimulus untuk membantu masyarakat yang terdampak. Salah satu stimulus yang disiapkan adalah jaring pengaman sosial pemerintah Pusat hadapi Covid-19.
Dalam jaring pengaman tersebut, sejumlah bantuan sosial (bansos) dengan anggaran triliunan Rupiah pun sudah disiapkan. Di antaranya, sebanyak 20 juta Keluarga Penerima Manfaat(KPM) Kartu Sembako sebesar Rp200.000 per bulan selama 12 bulan dengan toal anggaran Rp43,6 triliun.
Sebanyak 10 juta Keluarga Penerima Manfaatdalam Program Keluarga Harapan (PKH) diberikan dengan total anggaran Rp37,4 triliun. Bansos ini di luar penerima PKH dan Kartu Sembako, diberikan selama 3 bulan (april-Juni) dengan total anggaran Rp3,42 triliun. Untuk di DKI Jakarta bansos tersebut diberikan pada 1,3 juta KPM dan Bodetabek 600 ribu KPM.
Lalu ada bansos tunai untuk 9 juta KPM non Jabodetabek. Diberikan uang tunai Rp600.000 per bulan selama 3 bulan (April-Juni) dengan total anggaran Rp1,2 triliun. Bantuan ini diberikan di luar penerima PKH dan Kartu Sembako.
Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa diberikan kepada 11 juta KPM sebesar Rp600.000 per bulan selama 3 bulan (April-Juni) dengan total anggaran Rp21,2 triliun. Bantuan tersebut diberikan untuk masyarakat di luar penerima PKH, Kartu Sembako, Bansos Tunai dan Kartu Pra-Kerja. Bantuan ini diambil dari 35% dana desa yang disalurkan pemerintah sesuai dengan Permendes Nomor 6 tahun 2020
Pemerintah juga menyiapkan bantuan untuk masyarakat yang kehilangan pekerjaan dalam program kartu Pra-Kerja untuk 5,6 juta penerima manfaat. Insentif Rp600.000 per bulan selama 4 bulan. Total anggaran yang disiapkan sebesar Rp20 triliun.
Substitusi listrik PLN, untuk golongan 450 Va gratis untuk 24 juta rumang tangga dan 900 VA diskon 50% untuk 7,2 juta rumah tangga. Ini dibeerikan selama 3 bulan (April-Juni) dengan total anggaran Rp58,2 triliun.
Dari sekian banyak program bansos tersebut, apakah semuanya tersalurkan dengan tepat? Sebab banyak masyarakat yang kini terkena dampak dan harus kehilangan pekerjannya.
Seperti diungkap Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduiki, ada UMKM yang tidak bisa diselamatkan usahanya karena terkena dampak pandemi virus corona atau Covid-19. UMKM ini pun masuk kategori miskin baru.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, jumlah usaha mikro 62.106.900, usaha kecil 757.090, usaha menengah 58.627 dan usaha besar berjumlah 5.460 unit. Dari jumlah tersebut 98% usaha pada level mikro atau sekitar 63 juta terkena dampak.
"Nah meraka paling terdampak. Jadi kami bisa membuat kategori, ada UMKM yang tidak bisa diselessaikan mekanisme ekonominya, bahkan digolongkan miskin baru. UMKM ini kita dorong masuk di program jaminan sosial termasuk dua program yang sekarang jadi sosial safety net, kartu pra-kerja dan dana desa," ujar Teten.
Untuk UMKM ini, Pemerintah juga menyiapkan bansos berupa:
1. Usaha Kecil dan Menengah kategori miskin dan rentan sebagai penerima bansos, PKH, paket sembako, bansos tunai, BLT desa, substitusi listrik dan kartu Pra-Kerja.
2. Insentif pajak bagi UMKM dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun. Pemerintah telah menurunkan tarif PPh final untuk UMKM dari 0,5% menjadi 0% selama 6 bulan (April-September)
3. Relaksasi dan Restrukturisasi Kredit bagi UMKM. Program penundaan angsuran dan subsidi bungan diperluas untuk usaha mikro penerima bantuan usaha dan pemerintah daerah. Termasuk KUR, UMi, PNM Mekaar, LPDB dan penerima bantuan permodalan dari beberapa kementerian.
4. Perluasan pembiayaan modal kerja bagi 23 juta UMKM yang belum terhubungan dengan lembaga pembiayaan perbankan. Penyaluran melalui KUR untuk UMKM yang bankable. Penyaluran melalui UMi, Mekaar dan skema lain untuk UMKM yang tidak bankable.
5. Kementerian BUMM dan Pemda menjadi penyangga UMKM. BUMN dan BUMD menjadi offtaker (penyerap) bagi hasil produksi para pelaku UMKM baik di bidang pertanian, perikanan, kuliner sampai industri rumah tangga.
Meski pemerintah sudah memasukan kategori UKM tersebut untuk mendapatkan bansos. Sekali lagi, apakah bantuan tersebut sudah diterima orang yang tepat.
Bansos Kurang Diminati
Trinitas Lina, buruh di salah satu perusahaan di Jakarta terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) setalah bekerja 18 tahun. Namun saat disinggung apakah dirinya sudah mendaftarkan diri ke kartu Pra-Kerja sesuai dengan program pemerintah Presiden Joko Widodo. Dia mengaku sudah mengajukan.
Namun demikian, dia menganggap program Pra-Kerja sulit diakses. "Sudah mengajukan, tapi susah, itu juga nanti diseleksi," cetusnya.
Dia mencontohkan, dalam mengakses video dalam paket yang disediakan Program Kartu Prakerja, dirinya justru harus mengeluarkan uang untuk membeli paket data internet.
"Kita tidak tahu berapa paket datanya yang terpotong. Kita juga enggak tahu apakah bisa lolos karena setahu saya memang ada seleksi," ungkapnya.
Dana Bansos Rawan Korupsi
Menurut Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah, penyaluran bansos memang dilematis di tengah kondisi yang tidak memiliki sistem data akurat.
"Seharusnya ini dijadikan momentum untuk memperbaiki data kependudukan kita. Tanpa didukung data yang akurat, pilihannya adalah bansos disalurkan menunggu data lengkap sehingga tepat sasaran dan bisa di monitor sehingga lebih aman dari korupsi. Tapi di sisi lain menjadi terlambat," ujar dia kepada Okezone.
Atau bansos juga disalurkan dengan cepat tanpa menunggu kelengkapan data. Sehingga besar kemungkinannya tidak tepat sasaran dan sulit dimonitor, rawan dikorupsi.
"Sekarang pemerintah dan kita harus memilih. Kalau kita ingin cepat, dengan data yang belum sempurna. Jangan berharap sepenuhnya tepat dan rawan penyalahgunaan," ungkap dia.
Sementara itu, Ekonom Indef Bhima Yudhistira menyebut, dengan anggaran yang besar, memang dikhawatirkan ada celah korupsi yang dimanfaatkan oleh oknum. Di mana Rp405 triliun tidak sedikit, apalagi ada dana jaring pengaman sosial sebesar Rp110 triliun.
Kemudian, lanjut dia untuk kartu pra kerja yang menimbulkan polemik anggarannya Rp20 triliun atau setara 3 kali lipat bailout bank century Rp6,7 triliun. Permasalahannya terdapat Pasal 27 pada Perpu No 1 tahun 2020 tentang pengawasan publik menjadi lebih sulit.
"Jadi yang perlu dilakukan adalah memastikan data penerima valid. Misalnya kartu pra kerja ditujukan untuk pengangguran dan korban PHK, tapi ada orang masih bekerja ternyata dapat insentif kartu pra kerja. Maka harus nama dan alamat (by name by address)," ujar dia kepada Okezone.
(Feby Novalius)