JAKARTA - Semenjak pandemi dan semua kegiatan dialihkan ke rumah, kegiatan memelihara ikan cupang kian menjadi favorit bagi masyarakat untuk mengatasi kejenuhan di rumah saja. Warna dan bentuknya yang unik mampu membuat orang tertarik membelinya.
Ternyata sebelum menjadi tren sekarang, ikan cupang sudah diminati dan populer sejak tahun 90-an. Sering dijadikan ajang aduan hingga dipelihara sebagai ikan hias.
Baca Juga: Mulai Bisnis Ikan Cupang, Perhatikan 4 Hal Berikut Ini
Mengutip dari buku Budi Daya Ikan Cupang karya Sunari, Selasa (15/12/2020), berikut penjelasan sejarah ikan cupang.
Memelihara ikan cupang menjadi kegemaran dan sudah tenar sejak tahun 1960-an. Saat itu banyak orang yang mengadunya sebagai hiburan.
Selain banyak diminati orang Indonesia, ikan cupang juga menjadi primadona di luar negeri.
Baca Juga: 4 Jenis Ikan Cupang yang Bisa Hasilkan Cuan, Cek di Sini
Sekitar tahun 1970-an para importir ikan hias mendatangkan cupang dengan bram, memiliki ekor dan sirip pendek. Cupang jenis ini dapat dikatakan varietas unggul dan cupang aduan yang dihasilkan untuk budi daya.
Ada juga cupang slayer yang memiliki sirip dan ekor panjang, merupakan cikal bakal cupang hias yang dikenal saat ini.
Cupang mampu beradu dengan hebat, bahkan tak jarang orang memberi pelatihan diluar logika, seperti dijantur, diuter, dan dijemur tanpa air. Ada pula yang mengawinkan dengan spesies lain.
Tahun 1990-an mulai muncul varietas baru ikan cupang yang bentuk tubuh, sirip, dan warnanya lebih beragam dan unik.
Ikan cupang hias termasuk ke dalam ordo labyrinthici dari familia anabantiadae. Masih satu keturunan dengan kissing gourame, sepat, dan ikan betik.
Ciri khas ikan cupang adalah kemampuannya bernapas dengan jalan mengambil oksigen langsung dari udara.
Hal ini karena adanya pernapasan yang dikenal dengan nama labyrinth yang terletak di dalam rongga insang sebelah atas.
Maka dari itu, ikan cupang mampu hidup di tempat yang memiliki oksigen sedikit. Ikan ini biasanya hidup di alam, seperti di rawa-rawa, persawahan, dan daerah aliran sungai yang dangkal.
(Feby Novalius)